JUWET ( JUjur Walaupun Emang pahiT )
Sejatinya manusia mencintai sifat jujur dan membenci sifat dusta. Kejujuran adalah sifat yang mulia nan terpuji. Orang yang jujur akan dicintai Allah Ta’ala dan dicintai pula oleh manusia. Jujur merupakan sifat orang berilmu, sifat orang yang bertaqwa, dan sifat yang bisa mengantarkan seseorang ke Surga.
Secara bahasa, jujur bermakna hati yang lurus, tidak berbohong, berkata apa adanya, tidak melakukan kecurangan dan tulus ikhlas. Dalam bahasa arab jujur sering disebut dengan istilah as-Shidqu yang berarti lawan dari al-Kadzibu yaitu dusta, sekalipun as-Shidqu sebenarnya memiliki makna yang jauh lebih luas dibanding makna jujur. Akan tetapi jujur dan benar di antara bagian makna dari as-Shidqu.
Al-Jurjani rahimahullah menjelaskan bahwa as-Shidqu secara istilah adalah mengatakan kebenaran pada kondisi berbahaya. Ada juga yang mengatakan bahwa as-Shidqu adalah berkata jujur pada kondisi tidak ada yang menyelamatkanmu kecuali berkata dusta. (Kitab at-Ta’rifat, hlm. 132)
Orang yang jujur dan benar keimanannya disebut dengan as-Shiddiq, yaitu orang yang meyakini sebuah kebenaran dengan hatinya dan senantiasa mengatakan dan merealisasikan kebenaran yang diyakininya. Sahabat Nabi Abu Bakar radhiallahu anhu adalah sahabat yang diberi gelar as-Shiddiq. Pemberian gelar tersebut karena kejujuran iman beliau yang tetap teguh tanpa ragu sedikitpun dengan mengimani apapun yang berasal dari Nabi shallallahu alaihi wasallam di saat banyak orang mendustakan pada peristiwa Isra dan Mi’raj.
Dalam realitanya, berkata jujur butuh keteguhan hati. Terkadang terasa berat, pahit dan mengundang berbagai resiko. Nabi Ibrahim alaihisalam harus siap dibakar hidup-hidup atas kejujuran tauhid yang beliau dakwahkan. Sahabat nabi Bilal bin Robah radhiallahu anhu disiksa dengan batu besar di bawah terik matahari atas kejujuran imannya. Seorang wanita al-Ghomidiyyah siap dirajam sampai mati atas kejujuran taubatnya. Masih banyak contoh resiko orang-orang yang jujur dalam catatan sejarah seperti ada yang ditusuk, ada yang digergaji, dan adapula yang dipanggang hidup-hidup.
Kejujuran merupakan cermin keimanan. Kejujuran iman seseorang akan mendorongnya untuk berlaku jujur. Semakin kuat iman seseorang maka semakin kuat kuat pula kejujurannya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah bersama orang-orang jujur lagi benar.” (QS. at-Taubah: 119)
Ayat ini memerintahkan hamba-hamba Allah Ta’ala yang beriman untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas taqwa dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dalam ayat tersebut juga terdapat perintah untuk berlaku jujur dalam perkataan, perbuatan dan seluruh keadaan serta bersama orang-orang yang jujur. Abdulloh bin Umar berkata yaitu maksudnya bersama Nabi Muhammad dan sahabatnya. Ad-Dhahak berkata yaitu bersama Abu Bakar dan Umar serta sahabat-sahabat beliau berdua.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa orang-orang yang jujur dalam perkataan dan perbuatannya serta seluruh kondisinya maka ia terbebas dari sifat malas dan lemah semangat serta selamat dari segala keinginan buruk. Kejujuran itu mencakup sifat ikhlas dan niat yang baik karena sesungguhnya kejujuran itu akan menunjukan pada kebaikan dan kebaikan itu akan menunjukan ke Surga. (Taisir al-Karimurrahman)
Ada tiga medan yang sangat diutamakan untuk berlaku jujur, yaitu: (1) jujur dalam niat, yakni kemurnian niat, tekad, dan kehendak, (2) jujur dalam ucapan yakni hanya mengucapkan kebenaran, menjauhi kebatilan, dan menghindari ucapan tidak berguna, dan (3) jujur dalam amal perbuatan yakni dengan menyesuaikan ucapan dan perbuatan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Di antara sebab kemuliaan harga sebuah kejujuran adalah karena sifat ini akan menuntun seseorang dalam sebuah kebaikan, dan kebaikan yang dilakukan seseorang akan menjadi sebab memasukannya ke Surga.
Rosululloh shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan kepada surga, dan seseorang yang benar-benar berlaku jujur akan dicatat di sisi Allah sebagai orang jujur.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)
Abu Dzar pernah diberi wasiat oleh Rosululloh shallallahu alaihi wasallam untuk senantiasa berlaku jujur sekalipun terasa pahit, beliau menuturkan:
(( وَأَمَرَنِي أَنْ أَقُولَ بِالْحَقِّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا ))
“Beliau memerintahkan kepadaku untuk mengatakan yang benar walau itu pahit.” (HR. Ahmad)
Secara umum, berlaku jujur untuk mengatakan kebenaran apa adanya diperintahkan dalam Islam. Hanya saja, berdasarkan dalil-dalil shohih ada beberapa hal yang diperbolehkan untuk tidak mengatakan apa adanya dan hal tersebut tidak dikategorikan sebagai perbuatan dusta seperti untuk kepentingan mendamaikan kedua pihak yang berselisih, strategi perang dan untuk kebahagiaan suami istri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar