Meningkatkan Kualitas Iman dan Taqwa dengan 5M
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa
(orang) memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (Q.S. Al Hasyr : 18)
Adalah
menjadi kewajiban setiap orang merancang dan mempersiapkan hari esok yang lebih
baik. Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa seorang akan merugi kalau hari
esoknya sama saja dengan hari ini, bahkan dia menjadi terkutuk jika hari ini
lebih buruk dari kemarin. Seseorang baru dikatan bahagia, jika hari esok itu
lebih baik dari hari ini.
Membangun
hari esok yang baik, sesuai dengan ayat (wahyu Allah SWT) di atas dimulai
dengan perintah bertaqwa kepada Allah dan di akhiri dengan perintah yang sama.
Ini mengisyaratkan bahwa landasan berfikir, serta tempat bertolak untuk
mempersiapkan hari esok haruslah dengan taqwa.
Semestinya
orang Mukmin punya langkah antisipatif terhadap kemungkinan yang dapat terjadi
esok disebabkan kelalaian hari ini. Seorang mukmin sudah dapat memprediksi dan
mempersiapkan hari esok yang lebih baik, dinamis, lebih mapan, lebih produktif
dari pada hari ini.
Simpulannya,
mesti ada peningkatan prestasi dari hari ke hari. Hari esok dapat berarti masa
depan dalam kehidupan pendek di dunia ini.
Hari
esok juga berarti pula hari esok yang hakiki, yang kekal abadi di akhirat
kelak.
Hari
esok mesti dirancang harus lebih baik dari hari ini, dengan meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dengan melaksanakan lima “M” ; yaitu
Mu’ahadah, Mujahadah, Muraqabah, Muhasabah, dan Mu’aqabah.
1.
Mu’ahadah
Mu’ahadah
adalah mengingat perjanjian dengan Allah SWT. Sebelum manusia lahir ke dunia,
masih berada pada alam gaib, yaitu di alam arwah, Allah telah membuat “kontrak”
tauhid dengan ruh.
Kontrak
tauhid ini terjadi ketika manusia masih dalam keadaan ruh belum berupa materi
(badan jasmani). Karena itu, logis sekali jika manusia tidak pernah merasa
membuat kontrak tauhid tersebut.
Mu’ahadah
konkritnya diikrarkan oleh manusia mukmin kepada Allah setelah kelahirannya ke
dunia, berupa ikrar janji kepada Allah. Wujudnya terefleksi minimal 17 kali
dalam sehari dan semalam, bagi yang menunaikan shalat wajib, sebagaimana
tertera di dalam surat Al Fatihah ayat 5 yang berbunyi: “Iyyaka na’budu wa
iyyaka nasta’in”. Artinya, engkau semata wahai Allah yang kami sembah, dan
engkau semata pula tempat kami menyandarkan permohonan dan permintaan
pertolongan.
Ikrar
janji ini mengandung ketinggian dan kemantapan aqidah. Mengakui tidak ada lain
yang berhak disembah dan dimintai pertolongan, kecuali hanya Allah semata.
Tidak
ada satupun bentuk ibadah dan isti’anah (Permintaan Pertolongan) yang boleh
dialamatkan kepada selain Allah SWT.
Mu’ahadah
yang lain adalah ikrar manusia ketika mengucapkan kalimat “Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya kuperuntukkan (ku-abdikan) bagi
Allah SWT, Tuhan semesta alam.”
Semoga Allah
merahmati Anas bin Nadhir. Ia adalah seorang syahid Perang Uhud yang telah
memenuhi janjinya kepada Tuhannya. Dia sangat menyesal tidak hadir di Perang
Badar, karenanya dia merasa kehilangan banyak kebaikan dan pahala yang besar.
Anas tidak turut serta dalam Perang Badar bukan karena takut atau dia seorang
yang munafik. Dia mengira tidak akan terjadi perang, dia menyangka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat hanya untuk mencegat kafilah dagang
orang-orang Quraisy, dan Rasulullah tidak mewajibkan para sahabatnya untuk
berangkat.
Anas telah berjanji
kepada Allah, “Jika Allah memberiku kesempatan hadir di medan perang melawan
musuh-musuh-Nya, niscaya Dia pasti melihat apa yang aku lakukan.”
Di Perang Uhud, kaum
musyrikin lari tunggang langgang di awal peperangan di saat kaum muslimin
bersikap benar. Allah mewujudkan janji-Nya kepada mereka, akan tetapi manakala
kaum muslimin menyelisihi perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka
bercerai-berai sementara peperangan kembali memanas. Anas melihat keadaan dan
situasi telah berubah. Dia melihat teman-temannya seraya berkata, “Wahai Saad,
aku mencium bau surge di balik Gunung Uhud,” Anas melihat kaum muslimin yang
terpukul mundur, maka ia berkata, “Ya Allah, maafkanlah aku dari apa yang
mereka lakukan.” Dia pun maju menyerang musuh seperti seekor rajawali menyerang
mangsanya. Kekuatan iman mendorongnya, ada kehidupan mulia yang
diidam-idamkannya setelah dia meninggalkan kehidupan ini. Dia ingin memenuhi
janjinya, dan dia menunjukkannya kepada Allah Ta’ala.
Perang pun usai,
kaum muslimin mendapati tubuhnya menjadi ladang bagi pedang, tombak, dan anak
panah, sampai-sampai para sahabat tidak mengenalinya lagi. Wajahnya berubah,
hanya saudara perempuannya yang mengenalinya dari tanda yang terdapat di jari
tangannya. Saad menceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
kepahlawanan Anas, “Ya Rasulullah, demi Allah, aku tidak kuasa melakukan apa
yang telah dilakukan oleh Anas.”
Sikap Anas ini
mengingatkanku pada sikap seorang badui yang beriman dan mengikuti Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika sang badui diberi harta rampasan perang
sebagai haknya, dia malah bertanya kepada Rasulullah, “Apa ini?” Rasulullah
menjawab, “Harta rampasan perang yang menjadi hakmu.” Badui itu menjawab, “Aku
tidak mengikutimu demi ini. Aku mengikutimu agar aku bisa berperang di jalan
Allah, lalu anak panah menembus ini (dia menunjuk kepada lehernya). Maka aku
mati dan masuk surga.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika
ucapan itu jujur, Allah akan mewujudkan keinginanmu.”
Pada perang
berikutnya, badui tersebut dibawa kepada Rasulullah dalam keadaan anak panah
tertancap di lehernya. Rasulullah bertanya, “Diakah itu?” Para sahabat
menjawab, “Ya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia membenarkan
Allah, maka Allah membenarkannya.”
Begitu pula pemuda
yang meninggalkan shalat di belakang Mu’adz radhiallahu ‘anhu, dengan alasan
bacaan Mu’adz terlalu panjang. Mu’adz menuduhnya munafik. Maka pemuda itu
mengadu kepada Rasulullah. Rasulullah berkata kepada Mu’adz, “Apakah kamu
seorang pembuat fitnah wahai Mu’adz?” Lalu beliau berkata kepada pemuda itu,
“Apa yang kamu lakukan jika kamu shalat wahai anak muda?” Dia menjawab, “Aku
membaca Al-Fatihah. Aku memohon surga dan perlindungan dari neraka.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku dan Mu’adz sama-sama membaca apa
yang kamu baca.” Kemudian pemuda itu mengatakan, “Mu’adz akan tahu siapa aku
kalau musuh datang.” Pada saat itu kaum muslimin mendapatkan informasi bahwa
ada musuh yang hendak datang menyerang. Beberapa saat, benar saja musuh datang
menyerang. Kaum muslimin pun tak gentar menghadapi mereka. Pemuda itu ikut
serta bertempur dan dia gugur sebagai syahid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepada Mu’adz, “Apa yang terjadi pada pemuda itu?” Mu’adz
menjawab, “Ya Rasulullah, dia telah membenarkan Allah dan aku berbohong. Dia
gugur syahid.”
Generasi pertama
adalah generasi yang benar dalam akidah dan perbuatan mereka. mereka bertolak
dari akudah yang kuat dan niat yang teguh. Jika kita meneliti orang-orang
seperti ini, orang-orang yang tidak hanya berbicara, niscaya kita akan
mendapati ratusan bahkan ribuan teladan yang mengagumkan. Mereka adalah
realisasi dari firman Allah,
مِّنَ
الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَاعَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنهُم مَّن قَضَى
نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ وَمَابَدَّلُوا تَبْدِيلاً
“Di antara
orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara
mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya).”
(QS. Al-Ahzab: 23).
Kita memerlukan
orang-orang mukmin seperti mereka. orang-orang yang ucapannya sesuai dengan
akidahnya. Perbuatannya membenarkan ucapan dan akidahnya. Mereka sadar bahwa
mereka menisbatkan diri mereka kepada Islam dengan hati, perasaan, tingkah
laku, harapan, dan penderitaan. Mereka menegakkan hubungan mereka dengan orang
lain, baik dalam bentuk kecintaan ataupun kebencian, di atas petunjuk
kitabullah, Alquran.
Kita memerlukan
orang-orang mukmin seperti mereka. Apakah kita termasuk sebagian dari mereka?
Semoga. Jika tidak, maka berusahalah dan semoga Allah memberi pertolongan.
2.
Mujahadah
Mujahadah
berarti bersungguh hati melaksanakan ibadah dan teguh berkarya amal shaleh,
sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT yang sekaligus menjadi
amanat serta tujuan diciptakannya manusia.
Dengan
beribadah, manusia menjadikan dirinya ‘abdun (hamba) yang dituntut berbakti dan
mengabdi kepada Ma’bud (Allah Maha Menjadikan) sebagai konsekuensi manusia
sebagai hamba wajib berbakti (beribadah).
Mujahadah
adalah sarana menunjukkan ketaatan seorang hamba kepada Allah, sebagai wujud
keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya. Di antara perintah Allah SWT kepada manusia
adalah untuk selalu berdedikasi dan berkarya secara optimal.
Hal
ini dijelaskan di dalam Al Qur’an Surat At Taubah ayat: 5,
“Dan
katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin
akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha
Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu
apa-apa yang telah kamu kerjakan.”
Orang-orang
yang selalu bermujahadah merealisasikan keimanannya dengan beribadah dan
beramal shaleh dijanjikan akan mendapatkan petunjuk jalan kebenaran untuk
menuju (ridha) Allah SWT hidayah dan rusyda yang dijanjikan Allah diberikan
kepada yang terus bermujahadah dengan istiqamah.
Kecerdasan
dan kearifan akan memandu dengan selalu ingat kepada Allah SWT, tidak terpukau
oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syetan yang terus menggoda.
Situasi
batin dari orang-orang yang terus musyahadah (menyaksikan) keagungan Ilahi amat
tenang. Sehingga tak ada kewajiban yang diperintah dilalaikan dan tidak ada
larangan Allah yang dilanggar.
Jiwa
yang memiliki rusyda terus hadir dengan khusyu’. Inilah sebenarnya yang disebut
mujahidin ‘ala nafsini wa jawarihihi, yaitu orang yang selalu bersungguh dengan
nuraninya dan gerakannya.
Syeikh
Abu Ali Ad Daqqaq mengatakan: “Barangsiapa menghias lahiriahnya dengan
mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah.”
Imam
Al Qusyairi an Naisaburi [3] mengomentari tentang mujahadah sebagai berikut:
« Jiwa
mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencari kebaikan; Pertama larut
dalam mengikuti hawa nafsu, Kedua ingkar terhadap ketaatan.
Manakala
jiwa ditunggangi nafsu, wajib dikendalikan dengan kendali taqwa. Manakala jiwa
bersikeras ingkar kepada kehendak Tuhan, wajib dilunakkan dengan menolak
keinginan hawa nafsunya.
Manakala
jiwa bangkit memberontak, wajib ditaklukkan dengan musyahadah dan istigfar.
Sesungguhnya
bertahan dalam lapar (puasa) dan bangun malam di perempat malam (tahajjud),
adalah sesuatu yang mudah.
Sedangkan
membina akhlak dan membersihkan jiwa dari sesuatu yang mengotorinya sangatlah
sulit. »
Mujahadah
adalah suatu keniscayaan yang mesti diperbuat oleh siapa saja yang ingin
kebersihan jiwa serta kematangan iman dan taqwa.
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الإنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ
إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيد ِ * إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ
الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ * مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إلاَّ لَدَيْهِ
رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Dan
sesunggunya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu)
ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah
kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang
diucapkannya melainkan adal di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir”.
(Q.S. Qaaf: 16-18).
Kisah ini saya dapat daripada seorang sahabat
semoga kita dat bersama-sama mengambil iktibar dari kisah seoran pemuda
Palestin ini..Hayatilah kisah ini..
Di dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah rhodiyallaahu
`anhu,
Rasululllah shollallaahu `alaihi wasallam pernah bersabda,
yg bermaksud:
" Ada tujuh golongan orang yang mendapat naungan Allah pada hari tiada
naungan selain dari naunganNya… diantaranya, seorang pemuda yang tumbuh dalam
melakukan ketaatan kepada Allah."
Dan di dalam sebuah hadits shohih yang berasal dari Anas bin an-Nadhr
rhodiyallaahu `anhu, ketika perang Uhud ia berkata,
"Wah …. angin surga, sunguh aku telah mencium wangi surga yang berasal
dari balik gunung Uhud."
Seorang Doktor bercerita kepadaku,
" Pihak rumah sakit menghubungiku dan memberitahukan bahwa ada seorang
pesakit dalam keadaaan kritikal sedang dirawat.
Ketika aku sampai, ternyata pesakit tersebut adalah seorang pemuda yang sudah
meninggal – semoga Allah merahmatinya -.
Lantas bagaimana detail kisah matinya. Setiap hari puluhan bahkan ribuan orang
meninggal. Namun bagaimana keadaan mereka ketika meninggal dunia? Dan bagaimana
pula dengan akhir hidupnya?
Pemuda ini terkena peluru sasar, dengan segera kedua orang tuanya –semoga Allah
membalas segala kebaikan mereka- melarikannya ke rumah sakit militer di Riyadh.
Di tengah perjalanan, pemuda itu menoleh kepada ibu bapaknya dan sempat
berbicara. Tetapi apa yang ia katakan? Apakah ia menjerit dan mengerang sakit?
Atau menyuruh agar segera sampai ke rumah sakit? Ataukah ia marah dan mengeluh
? Atau apa?
Orang tuanya mengisahkan bahwa anaknya tersebut mengatakan kepada mereka,
`Jangan khawatir! Saya akan meninggal … tenanglah … sesungguhnya aku mencium
wangi surga.!'
Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan ia mengulang-ulang kalimat tersebut di
hadapan para dokteor yang sedang merawat.
Meskipun mereka berusaha berulang-ulang untuk menyelamatkannya, ia berkata
kepada mereka, `Wahai saudara-saudara, aku akan mati, maka janganlah kalian
menyusahkan diri sendiri… karena sekarang aku mencium wangi surga.'
Kemudian ia meminta kedua orang tuanya agar mendekat lalu mencium keduanya dan
meminta maaf atas segala kesalahannya.
Kemudian ia mengucapkan salam kepada saudara-saudaranya dan mengucapkan dua
kalimat syahadat, `Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar
rasulullah' Ruhnya melayang kepada Sang Pencipta subhanahu wa ta'ala.
Allahu Akbar … apa yang harus aku katakan dan apa yang harus aku
bicarakan…Semua kalimat tidak mampu terucap … dan pena telah kering di tangan…
Aku tidak kuasa kecuali hanya mengulang dan mengingat
Firman Allah subhanahu wa ta'ala,yg bermaksud: " Allah meneguhkan (iman)
orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia
dan akhirat." (Ibrahim : 27)
Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi.
Ia melanjutkan kisahnya,
"Mereka membawa jenazah pemuda tersebut untuk dimandikan. Maka ia
dimandikan oleh saudara Dhiya' di tempat pemandian mayat yang ada di rumah
sakit tersebut. Petugas itu melihat beberapa keanehan yang terakhir.
Sebagaimana yang telah ia ceritakan sesudah shalat Magrib pada hari yang sama.
1. Ia melihat dahinya berkeringat. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullaah
Shallallaahu `alahi wasallam bersabda,
yg bermaksud:
"Sesungguhnya seorang mukmin meninggal dengan dahi berkeringat" . Ini
merupakan tanda-tanda khusnul khatimah.
2. Ia katakan tangan jenazahnya lunak demikian juga pada persendiannya
seakan-akan dia belum mati. Masih mempunyai panas badan yang belum pernah ia
jumpai sebelumnya semenjak ia bertugas memandikan mayat. Pada tubuh orang yang
sudah meninggal itu (biasanya-red) dingin, kering dan kaku.
3. Telapak tangan kanannya seperti seorang yang membaca tasyahud yang
menegakkan jari telunjuknya mengisyaratkan ketauhidan dan persaksiannya,
sementara jari-jari yang lain ia genggam.
Subhanalllah … Sungguh indah kematian seperti itu. Kita memohon semoga Allah
subhanahu wa ta'ala menganugrahkan kita khusnul khatimah.
Saudara-saudara tercinta … kisah belum selesai…
Saudara Dhiya' bertanya kepada salah seorang sedaranya, apa yang ia lakukan
semasa hidupnya? Tahukah anda apa jawabnya?
Apakah anda kira ia menghabiskan malamnya dengan berjalan-jalan di jalan raya?
Atau duduk di depan tv untuk menyaksikan hal-hal yang terlarang? Atau ia tidur
nyenyak hingga terluput mengerjakan shalat? Atau sedang meneguk khamr, dan isap
rokok?
Menurut anda apa yang telah ia kerjakan? Mengapa ia dapatkan husnul khatimah ?
meninggal dengan mencium wangi surga.
Ayahnya berkata,
"Ia selalu bangun dan melaksanakan shalat malam sesanggupnya. Ia juga
membangunkan keluarga dan seisi rumah agar dapat melaksanakan shalat Shubuh
berjama'ah. Ia gemar menghafal al-Qur'an dan termasuk salah seorang siswa yang
berprestasi di SMU."
Aku katakan, "Maha benar Allah" yang berfirman : yg bermaksud:
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: `Rabb kami ialah Allah'
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada
mereka (dengan mengatakan):
`Janganlah kamu takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu
dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.' Kamilah
pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh
apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.
Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (Fhushilat:30- 32)
3.
Muraqabah
Muraqabah
artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini
mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya
manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung
nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.
Kehati-hatian
(mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri
seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh
Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, « “Jalan kesuksesan
itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu
muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau
miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari.” »
Syeikh
Abu Utsman Al Maghriby mengatakan, « “Abu Hafs mengatakan kepadaku, ‘manakala
engkau duduk mengajar orang banyak jadilah seorang penasehat kepada hati dan
jiwamu sendiri dan jangan biarkan dirimu tertipu oleh ramainya orang berkumpul
di sekelilingmu, sebab mungkin mereka hanya melihat wujud lahiriahmu, sedangkan
Allah SWT memperhatikan wujud batinmu.” »
Dalam
setiap keadaan seorang hamba tidak akan pernah terlepas dari ujian yang harus
disikapinya dengan kesabaran, serta nikmat yang harus disyukuri. Muraqabah
adalah tidak berlepas diri dari kewajiban yang difardhukan Allah SWT yang mesti
dilaksanakan, dan larangan yang wajib dihindari.
Muraqabah
dapat membentuk mental dan kepribadian seseorang sehingga ia menjadi manusia
yang jujur.
«
Berlaku jujurlah engkau dalam perkara sekecil apapun dan di manapun engkau
berada.
Kejujuran
dan keikhlasan adalah dua hal yang harus engkau realisasikan dalam hidupmu. Ia
akan bermanfaat bagi dirimu sendiri.
Ikatlah
ucapanmu, baik yang lahir maupun yang batin, karena malaikat senantiasa
mengontrolmu. Allah SWT Maha Mengetahui segala hal di dalam batin.
Seharusnya
engkau malu kepada Allah SWT dalam setiap kesempatan dan seyogyanya hukum Allah
SWT menjadi pegangan dlam keseharianmu.
Jangan
engkau turuti hawa nafsu dan bisikan syetan, jangan sekali-kali engkau berbuat
riya’ dan nifaq. Tindakan itu adalah batil. Kalau engkau berbuat demikian maka
engkau akan disiksa.
Engkau
berdusta, padalah Allah SWT mengetahui apa yang engkau rahasiakan. Bagi Allah
tidak ada perbedaan antara yang tersembunyi dan yang terang-terangan, semuanya
sama.
Bertaubatlah
engkau kepada-Nya dan dekatkanlah diri kepada-Nya (Bertaqarrub) dengan melaksanakan
seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya.” » [4]
وَأَنْ
لَيْسَ لِلإنْسَانِ إلاَّ مَا سَعَى وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى ثُمَّ
يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ اْلأَوْفَى وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى وَأَنَّهُ
هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى وَأَنَّهُ هُوَ أَمَاتَ وَأَحْيَا
“Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan
(kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling
sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu), dan
bahwasanya DIA yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya DIA
yang mematikan dan yang menghidupkan.” (QS. An-Najm: 39-44)
Kisah
yang disebutkan dalam sirah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Azis (Juz 1, hlm 23).
Yaitu kisah Amirul-Mukminin ‘Umar bin Khaththab radhiallahu
‘anhu dengan seorang wanita. Tatkala Khalifah ‘Umar bin
Khaththab radhiallahu ‘anhu memegang tampuk pemerintahan, beliau
melarang mencampur susu dengan air.
Awal
kisah, pada suatu malam Khalifah ‘Umar bin Khaththab radhiallahu
‘anhu pergi ke daerah pinggiran kota Madinah. Untuk istirahat sejenak,
bersandarlah beliau di tembok salah satu rumah. Terdengarlah oleh beliau
suara seorang perempuan yang memerintahkan anak perempuannya untuk mencampur
susu dengan air. Tetapi anak perempuan yang diperintahkan tersebut menolak dan
berkata: “Bagaimana aku hendak mencampurkannya, sedangkan Khalifah ‘Umar
melarangnya?”
Mendengar
jawaban anak perempuannya, maka sang ibu menimpalinya: “Umar tidak akan
mengetahui.”
Mendengar
ucapan tersebut, maka anaknya menjawab lagi: “Kalaupun ‘Umar tidak mengetahui,
tetapi Rabb-nya pasti mengetahui. Aku tidak akan pernah mau melakukannya. Dia
telah melarangnya.”
Kata-kata
anak wanita tersebut telah menghunjam ke dalam hati ‘Umar. Sehingga pada pagi
harinya, anaknya yang bernama ‘Ashim, beliau panggil untuk pergi ke rumah
wanita tersebut. Diceritakanlah ciri-ciri anak tersebut dan tempat tinggalnya,
dan beliau berkata: “Pergilah, wahai anakku dan nikahilah anak tersebut,” maka
menikahlah ‘Ashim dengan wanita tersebut, dan lahirlah seorang anak perempuan,
yang darinya kelak akan lahir Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz.
Pelajaran
yang bisa kita ambil dari kisah tersebut ialah sebagai berikut:
–
Kesungguhan salaf dalam mendidik anak-anak mereka.
– Selalu
menanamkan sifat muraqabah, yaitu selalu merasa diawasi oleh
Allah ‘Azza wa Jalla, baik ketika sendiri atau ketika bersama orang lain.
– Tidak
meresa segan untuk memberikan nasihat kepada orang tua.
– Memilihkan
suami yang shalih atau istri yang shalihah bagi anak-anaknya.
4. Muhasabah
Muhasabah
berarti introspeksi diri, menghitung diri dengan amal yang telah dilakukan.
Manusia yang beruntung adalah manusia yang tahu diri, dan selalu mempersiapkan
diri untuk kehidupan kelak yang abadi di yaumul akhir.
Dengan
melakasanakan Muhasabah, seorang hamba akan selalu menggunakan waktu dan jatah
hidupnya dengan sebaik-baiknya, dengan penuh perhitungan baik amal ibadah
mahdhah maupun amal sholeh berkaitan kehidupan bermasyarakat. Allah SWT
memerintahkan hamba untuk selalu mengintrospeksi dirinya dengan meningkatkan
ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Diriwayatkan
bahwa pada suatu ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. melaksanakan shalat
shubuh. Selesai salam, ia menoleh ke sebelah kanannya dengan sedih hati. Dia
merenung di tempat duduknya hingga terbit matahari, dan berkata; “Demi Allah, aku telah melihat para sahabat
(Nabi) Muhammad SAW. Dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai
mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka melewatkan
malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah, mereka membaca kitab Allah
dengan bergantian (mengganti-ganti tempat) pijakan kaki dan jidat mereka
apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar diterpa angin,
mata mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka dan orang-orang
sekarang seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan mereka).” »
Muhasabah
dapat dilaksanakan dengan cara meningkatkan ubudiyah serta mempergunakan waktu
dengan sebaik-baiknya. Berbicara tentang waktu, seorang ulama yang bernama
Malik bin Nabi berkata ; « “Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali ia berseru,
“Wahai anak cucu Adam, aku ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku
karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.” » [5]
Waktu terus berlalu, ia diam seribu bahasa,
sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan
nilainya. Allah SWT bersumpah dengan berbagai kata yang menunjuk pada waktu
seperti Wa Al Lail (demi malam), Wa An Nahr (demi siang), dan lain-lain.
Waktu
adalah modal utama manusia. Apabila tidak dipergunakan dengan baik, waktu akan
terus berlalu. Banyak sekali hadits Nabi SAW yang memperingatkan manusia agar
mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin.
نِعْمَتَانِ
مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا َكثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَ الفَرَاغُ
“Dua
nikmat yang sering disia-siakan banyak orang: Kesehatan dan kesempatan (waktu
luang).” (H.R. Bukhari melalui Ibnu Abbas r.a).
Kisah Nabi Musa AS Dan Seorang Ahli Ibadah...
Suatu ketika Nabi Musa Di tengah perjalanan bertemu dengan seorang
ahli ibadah yang sedang ber-uzlah menjauhkan diri dari keramaian. Ketika
melihat Nabi Musa mendekatinya, sang abid mendekat dengan penuh semangat. Wahai
Nabi Allah, pasti engkau suka berkomunikasi dengan Allah. Tolong tanyakan
kepada Allah, di surga tingkat berapa nanti aku ditempatkan di akhirat? kata
sang abid penuh yakin. Wahai hamba Allah, bagaimana engkau bisa memastikan
dirimu akan masuk surga? kata Nabi Musa dengan heran. Bagaimana tidak, wahai
Nabi Allah. Aku mengasingkan diri dari keramaian sudah selama empat puluh
tahun. Aku telah meninggalkan segala-galanya. Selama itu aku tidak pernah
melakukan perbuatan dosa. Aku hanya berdzikir dan beribadah kepada Allah. Aku
menjaga makanan haram, dengan tidak aku makan kalau tidak dari daun- daun yang
langsung jatuh ke pangkuanku. Aku tidak minum kalau bukan air hujan. Tidak
pastikah aku masuk surga? Nabi Musa kemudian melanjutkan perjalanannya.
Di Bukit Sina, ia berkomunikasi dengan Allah. Ya Allah, di tengah
perjalananku aku bertemu dengan seorang hamba- Mu. Dia ingin tahu di surga
tingkat berapakah gerangan tempatnya nanti? Jawab Allah: Wahai Musa, sampaikan
kepadanya bahwa tempatnya di neraka. Nabi Musa terkejut. Ia pun kembali menemui
sang abid. Melihat Nabi Musa datang, sang abid dengan penuh semangat
menemuinya. Ia ingin cepat mengetahui di surga tingkat berapa tempatnya kelak
di akhirat. Di surga ke berapa tempatku nanti? Katakan secepatnya, wahai Nabi
Allah! kata sang abid seraya mengguncang-guncang bahu Nabi Musa. Sabar wahai
sahabatku. Kabar yang kuterima tempatmu nanti di neraka. Bagaimana mungkin
wahai Musa. Ibadah empat puluh tahun diganjar dengan neraka? Tidak mungkin.
Pasti engkau salah dengar. Tolong engkau kembali lagi kepada Allah, tanyakan di
surga ke berapa tempatku kelak.
Nabi Musa kembali. Di tengah perjalanan ia bergumam sendirian, Iya
ya, aku akan memastikan. Ya Allah, hambamu ingin kejelasan, apa benar tempatnya
kelak di neraka? tanya Nabi Musa kepada Allah sekali lagi. Allah Swt Menjawab,
Aku tadinya memang akan menempatkannya di neraka. Aku menciptakan manusia bukan
untuk egoisnya, Aku menciptakan manusia sebagai khalifah dan untuk saling
membantu sesamanya menuju jalan-Ku. Abid tadi bukan mendekatkan dirinya kepada-Ku.
Ia melarikan diri dari realitas kehidupan yang nyata. Hanya memikirkan amal
untuk dirinya sendiri.
Pada saat engkau berjalan menuju ke sini, abid itu tersungkur
sujud, ia menangis sejadi-jadinya. Ia memohon kepada-Ku kalau benar dirinya
kelak akan ditempatkan di neraka maka jadikanlah dirinya agar tubuhnya
diperbesar sebesar neraka Jahanam, supaya tidak ada orang lain yang masuk ke
dalamnya selain hanya dirinya. Pada saat itu, ia tidak lagi memikirkan dirinya
sendiri. Ia kembali kepada tanggung jawabnya. Kesalehan individu identik dengan
hubungan seseorang secara pribadi kepada Allah swt. Ia melakukan ibadah yang
pahalanya hanya untuk dirinya sendiri, tetapi manfaat ibadah yang
dilaksanakannya tidak dirasakan secara langsung dan berkaitan dengan kepentingan
orang banyak. Ibadah sosial yaitu dawah lebih mengutamakan kepentingan orang
lain, tetapi berdampak positif juga bagi dirinya sendiri. Walaupun banyak
perintah untuk beribadah dalam agama ditujukan kepada individu tetapi harus
berdampak dalam kehidupan umat yang nyata.
Kesamaan perintah Ramadhan diawali dengan panggilannya kepada
orang-orang beriman, dan ayat berikut mengenai dalil tentang kesholehan sosial
juga tidak lepas distatuskan kepada ciri khas orang-orang beriman sebagai mana
ayat berikut. Allah SWT Berfirman : Dan orang- orang yang BERIMAN, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi PENOLONG bagi sebahagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana ( At-Taubah : 71 ) Allah SWT Berfirman: Kamu (Umat Islam) Adalah
Umat Terbaik, yang diturunkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah
kemungkaran (QS Ali Imran 103) Ramadhan menjadi momentum meningkatkan
produktivitas dan berkarya, bukan bermalas- malasan.bila dihayati secara
mendalam, Ramadhan seperti madrasatun mada al-hayah (madrasah sepanjang hayat)
yang berkelanjutan mendidik dan mengedukasi generasi demi generasi setiap
tahun. Ramadhan memuat makna-makna iman pada jiwa manusia, mengilhami mereka
arti agama yang hanif, dan memantapkan kepribadian Muslim yang hakiki
Kesempatan Ramadhan yang di dalamnya dijanjikan rahmat (karunia), maghfirah
(ampunan), dan itqun min al-nar(pembebasan dari api neraka), sesungguhnya
momentum ideal menemukan solusi banyak hal bagi umat. Puasa yang benar dapat
membangunkan hati Mukmin yang tertidur. Pada suatu hari Rasulullah Saw bersabda
kepada para sahabatnya: Kamu kini jelas atas petunjuk dari Robbmu, menyuruh
kepada yang maruf, mencegah dari yang mungkar dan berjihad di jalan Allah.
Kemudian muncul di kalangan kamu dua hal yang memabukkan, yaitu kemewahan hidup
yang mengakibatkan lupa diri dan kebodohan. Kamu beralih kesitu dan berjangkit
di kalangan kamu cinta dunia. Kalau terjadi yang demikian kamu tidak akan lagi
beramar maruf, nahi mungkar dan berjihad di jalan Allah. Di kala itu yang
menegakkan Al Quran dan sunnah, baik dengan sembunyi maupun terang- terangan
tergolong orang-orang terdahulu dan yang pertama- tama masuk Islam. (HR. Al
Hakim dan Tirmidzi) Rasulullah Saw bersabda, Wahai segenap manusia, menyerulah
kepada yang maruf dan cegahlah dari yang mungkar sebelum kamu berdoa kepada
Allah dan tidak dikabulkan serta sebelum kamu memohon ampunan dan tidak
diampuni. Amar maruf tidak mendekatkan ajal. Sesungguhnya para robi Yahudi dan
rahib Nasrani ketika mereka meninggalkan amar maruf dan nahi mungkar, dilaknat
oleh Allah melalui ucapan nabi-nabi mereka. Mereka juga ditimpa bencana dan
malapetaka. (HR. Ath-Thabrani) Semoga bermanfaat...! "Allahumma haqqiqna
bittaqwa wal istiqoomah...Ya ALLAH tetapkan kuatkan hidup kami dalam ketaqwaan
dan istiqomah...aamiin".
5.
Mu’aqabah
Muaqabah
artinya pemberian sanksi terhadap diri sendiri. Apabila melakukan kesalahan
atau sesuatu yang bersifat dosa maka ia segera menghapus dengan amal yang lebih
utama meskipun terasa berat, seperti berinfaq dan sebagainya.
Kesalahan
maupun dosa adalah kesesatan.
Oleh
karena itu agar manusia tidak tersesat hendaklah manusia bertaubat kepada
Allah, mengerjakan kebajikan sesuai dengan norma yang ditentukan untuk menuju
ridha dan ampunan Allah.
Berkubang
dan hanyut dalam kesalahan adalah perbuatan yang melampaui batas dan wajib ditinggalkan.
Di
dalam ajaran Islam, orang baik adalah orang yang manakala berbuat salah,
bersegera mengakui dirinya salah, kemudian bertaubat, dalam arti kembali ke
jalan Allah dan berniat dan berupaya kuat untuk tidak akan pernah mengulanginya
untuk kedua kalinya.
Sayyidina
Umar bin Khattab suatu hari pergi ke kebun kurma miliknya. Ketika pulang ia
mendapati sejumlah orang telah rampung menunaikan sembahyang Ashar.
Sontak
mulut Sayyidina Umar berucap, "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, aku
ketinggalan shalat jamaah!"
Khalifah
kedua ini kecewa bukan main lantaran tak sempat menunaikan shalat jamaah
bersama mereka. Sebagai pelunasan atas rasa bersalahnya ini, ia pun melontarkan
sebuah pengumuman di hadapan mereka.
"Saksikanlah,
mulai sekarang aku sedekahkan kebunku untuk orang-orang miskin," ujar
pemimpin berjuluk "al-Faruq" ini. Sayyidina Umar merelakan kebun
lepas dari kepemilikannya, sebagai kafarat atas keterlambatannya
melaksanakan shalat jamaah.
Kisah
ini diriwayatkan 'Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma seperti
tertuang dalam kitab Anîsul Mu'minîn karya Shafuk Sa'dullah
al-Mukhtar.
Sebenarnya,
tak ada kewajiban bagi umat Islam untuk menghibahkan kekayaan sebesar itu
'hanya' gara-gara telat shalat jamaah. Tapi Umar melakukan hal itu lantaran
kecintaannya yang mendalam terhadap aktivitas ibadah.
Sikap
Sayyidina Umar tersebut secara tersirat juga mencerminkan kezuhudan dalam
dirinya. Lebih dari sekadar ketertarikan atas pahala berlipat dari sembahyang
jamaah, 'keputusan ekstremnya' itu menjadi penanda bahwa hatinya tak begitu
terikat dengan kemewahan harta benda.
Hibah
kebun kurma kepada kaum miskin, bagi Sayyidina Umar, adalah setimpal—atau
bahkan terlalu kecil—untuk sebuah 'keteledoran' yang membuatnya telat shalat
jamaah. Wallâhu a‘lam.
Shadaqallahul’azhim.
Allahu A’lamu Bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar