اَلْحَسُوْدُ لاَ يَسُوْدُ
“Yang
iri tidak akan bahagia” (Pepatah Arab)
Iri
Pertama di Dunia
Qabil
dan Habil adalah dua putera Adam a.s.. Mereka hendak dinikahkan dengan saudara
kembar masing-masing. Namun, berdasarkan keputusan yang diambil, Qabil menikah
dengan saudara perempuan kembaran Habil dan Habil dinikahkan dengan saudara
perempuan kembaran Qabil.
Qabil
tidak menerima keputusan ayahnya. Menurutnya, saudara perempuannya itu jauh
lebih cantik dibanding dengan saudara perempuan Habil. Ia berburuk sangka
kepada ayahnya bahwa ia tidak lebih dicintai ayahnya. Ia merasa dianaktirikan.
Maka,
terjadilah kemelut diantara Qabil dan Habil. Mereka memperebutkan untuk menikah
dengan saudara perempuan kembaran Qabil. Habil tetap dalam keputusan ayahnya.
Sedangkan Qabil menolak dan bersikukuh ingin menikah dengan saudara
perempuannya yang cantik.
Berdasarkan
bimbingan Allah swt., Adam a.s. pun memediasi mereka berdua agar ishlah. Qabil
dan Habil disuruh untuk mempersembahkan qurban dari masing-masing pekerjaannya.
Siapa yang qurban-nya diterima Allah, maka dialah yang berhak untuk menikahi
saudara perempuan kembaran Qabil. Indikasi diterimanya qurban mereka adalah
sambaran api dari langit yang mengenai qurban mereka.
Qabil,
sebagai petani, mempersembahkan hasil pertanian dan perkebunannya. Namun,
kualitasnya tidak baik. Dikiranya, Adam dan Allah tidak akan mengetahui. Adapun
Habil, sebagai peternak, ia mempersembahkan beberapa ekor kambing dan sapi yang
terbaik.
Ternyata,
persembahan yang disambar api dari langit adalah persembahan Habil. Berarti,
Allah menerima qurban Habil.
Dengan
kejadian tersebut diputuskanlah oleh Adam bahwa Habil berhak menikahi adik
Qabil yang cantik jelita itu. Namun Qabil tidak menerima begitu saja. Bahkan
Qabil menuduh ayahnya, bahwa yang didoakan oleh ayahnya untuk diterima
qurban-nya hanyalah Habil sedangkan qurban Qabil tidak diterima oleh Allah
karena memang ayahanda tidak mendoakan kepada Allah (Al-Bidayah wan-Nihayah,
al-Hafizh Abul Fida' Ibnu katsir ad-Dimasyqi).
Maka rasa dengki Qabil kepada Habil mendominasi hatinya dan terus menerus berpikir bagaimana caranya untuk melampiaskan kedengkiannya itu. Akhirnya, Qabil mengancam untuk membunuh Habil. Ancaman itu dijawab oleh Habil dengan menyatakan
إِنَّمَا
يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ ﴿27﴾ لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي
مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ ۖ
إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ ﴿28﴾ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي
وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ ۚ
وَذَٰلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ ﴿29﴾
Benar
sekali, kedengkian itu membuat orang gelap mata, sehingga tidak mampu
mengoreksi dirinya dan cenderung zalim menginginkan orang lain mendapatkan
keburukan dan hanya dialah yang berhak mendapatkan kebaikan.
Definisi dan Hukum Iri
Iri
atau dalam bahasa Arab disebut al-Hasadu adalah:
تَمَنِّيُّ
زَوَالِ النِّعْمَةِ عَنِ صَاحِبِهَا
“Menginginkan
hilangnya nikmat dari orang yang memilikinya”
Adapun
hukum dari hasud ini adalah haram sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
وَلَا
تَحَاسَدُوْا وَلاَ تتَنَاجَشُوْا وَلَا تَبَاغَضُوْا وَلَا تَدَابَرُوْا وَلاَ
يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ
“Janganlah
kalian saling hasud, saling menipu agar laku barang dagangan, saling membenci,
saling membelakangi dan jangan pula sebagian kalian melakukan transaksi di atas
transaki yang lain!” (H.R. Muslim).
Boleh
Hasud dalam Dua Perkara
Seluruh
hasud dilarang oleh Rasulullah. Namun, ada dua perkara yang dibolehkan hasud
(iri). Rasulullah saw. bersabda,
لَا
حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ
يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ
لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَرَجُلٌ
آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي
أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ
Tidak
boleh iri kecuali dalam dua hal, yaitu (1) seseorang yang Allah ajarkan
al-Quran kepadanya. Kemudian ia membacanya malam dan siang sehingga tetangganya
mendengarkannya. Lalu tetangga tersebut berkata, “Kalaulah aku diberikan
karunia seperti si Fulan, maka aku akan beramal seperti yang ia amalkan”; dan
(2) seseorang yang Allah karuniai harta. Ia menghabiskan hartanya dalam
kebenaran. Lalu seseorang berkata, “Kalaulah aku dikaruniai seperti apa yang
dikaruniakan kepada si Fulan, maka aku akan beramal seperti apa ia amalkan”.
(H.R. Bukhari).
1.
Iri kepada Ahli Quran
Iri
yang dibolehkan bahkan diharuskan yang pertama adalah iri kepada seseorang yang
cakap dalam berinteraksi dengan al-Quran (baca: ahli al-Quran). Dengan
kecakapannya ini ia membaca al-Quran setiap hari sampai-sampai terdengar oleh
tetangga.
Kenapa
harus iri kepada ahli al-Quran? Jika kita mau menjawab simple, karena ahli
al-Quran adalah orang yang mampu berkomunikasi dengan Allah. Karena, pada
hakekatnya ketika membaca al-Quran berarti kita sedang berkomunikasi dengan
Allah. Selain itu, ahli al-Quran merupakan
“juru bicara” Allah dan Rasulullah. Dengan kecakapannya dalam al-Quran, ia bisa
mengajarkan kepada orang lain selain ia mengamalkannya sendiri. Dan, orang yang
mengajarkan al-Quran adalah khairukum (orang terbaik). Demikian menurut hadits
Rasulullah.
Keuntungan
lainnya adalah, ahli al-Quran itu akan diberi syafaat oleh Allah. Rasulullah
saw. bersabda:
إِقْرَءُوْا
الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ
“Bacalah
oleh kalian al-Quran, karena al-Quran akan datang pada hari kiamat sebagai
pembawa syafaat bagi para sahabatnya” (H.R. Muslim).
Jadi,
tidak kah kita iri kepada orang-orang yang senantiasa bersahabat dengan
al-Quran? Membacanya, mempelajarinya, memahaminya, mengajarkannya dan istiqamah
di dalamnya?
2.
Iri kepada Ahli Shadaqah
Iri
yang kedua yang dibolehkan bahkan diharuskan adalah iri kepada seseorang yang
kaya tetapi ia tidak dikendalikan hartanya. Justru ialah yang mengendalikan
hartanya. Sehingga, harta yang ia miliki ia jadikan alat untuk beribadah kepada
Allah. Dialah ahli shadaqah, baik shadaqah yang wajib maupun yang sunat.
Umat
sedang membutuhkan sarana pendidikan, ia bershadaqah. Umat sedang membutuhkan
sarana ibadah, ia bershadaqah. Anak-anak yatim, ia santuni. Orang-orang papa,
ia kasihani. Ia tidak merasa sayang (Sunda: lebar) ketika hartanya dibelanjakan
di jalan Allah. Maka, kesudahan orang seperti ini tiada lain dan tidak bukan
adalah kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Tidak
kah kita iri terhadap orang seperti itu? Jika tidak iri, kacida pisan. Kita
harus iri. Banyak keuntungan yang didapat ketika kita menjadi orang berada dan
keberadaan kita bermanfaat untuk umat.
Sifat
angkuh dan sombong telah banyak mencelakakan makhluk ciptaan Allah subhanahu
wata’ala, mulai dari peristiwa terusirnya Iblis dari sorga karena
kesombongannya untuk tidak mau sujud kepada Nabi Adam alaihis salam tatkala
diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk sujud hormat kepadanya.
Demikian
juga Allah subhanahu wata’ala telah menenggelamkan Qorun beserta seluruh
hartanya ke dalam perut bumi karena kesombongan dan keangkuhannya terhadap
Allah subhanahu wata’ala dan juga kepada sesama kaumnya.
Allah
subhanahu wata’ala juga telah menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya di
lautan karena kesombongan dan keangkuhannya terhadap Allah subhanahu wata’ala
dan juga kepada sesama kaumnya, dan karena kesombongannya itulah dia lupa diri
sehingga dengan keangkuhannya dia menyatakan dirinya adalah tuhan yang harus
disembah dan diagungkan.
Kehancuran
kaum Nabi Luth alaihis salam juga karena kesombongan mereka dengan menolak kebenaran
yang disampaikan Nabi Luth alaihis salam agar mereka meninggalkan kebiasaan
buruk mereka yaitu melakukan penyimpangan seksual, yakni lebih memilih pasangan
hidup mereka sesama jenis (homosek), sehingga tanpa disangka-sangka pada suatu
pagi, Allah subhanahu wata’ala membalikkan bumi yang mereka tempati dan tiada
satu pun di antara mereka yang bisa menyelamatkan diri dari adzab Allah yang
datangnya tiba-tiba.Dan masih banyak kisah lain yang bisa menyadarkan manusia
dari kesombongan dan keangkuhan, kalaulah mereka mau mempergunakan hati nurani
dan akalnya secara sehat.
Mengapa
manusia tidak boleh sombong? Sebab manusia adalah makhluk yang lemah, maka
pantaskah makhluk yang lemah itu bermega-megahan dan sombong di hadapan
penguasa langit dan bumi? Namun fenomena dan realita yang ada masih banyak
manusia itu yang lupa hakikat dan jati dirinya, sehingga membuat dia sombong
dan angkuh untuk menerima kebenaran, merendahkan orang lain, serta memandang
dirinya sempurna segala-galanya.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, telah menjelaskan tentang bahayanya sifat
kesombongan dan keangkuhan, sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah Bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu , dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
“Tidak masuk surga siapa saja yang di dalam hatinya ada sedikit kesombongan,
kemudian seseorang berkata: “(ya Rasulullah) sesungguhnya seseorang itu senang
pakaiannya bagus dan sandalnya bagus”, Beliau bersabda: “Sesunguhnya Allah itu
Indah dan Dia menyenangi keindahan, (dan yang dimaksud dengan) kesombongan itu
adalah menolak kebenaran dan melecehkan orang lain” (HR. Muslim)
Imam
An-Nawawi rahimahullah berkomentar tentang hadits ini, “Hadits ini berisi
larangan dari sifat sombong yaitu menyombongkan diri kepada manusia,
merendahkan mereka dan menolak kebenaran”. (Syarah Shahih Muslim 2/269).
Al-Hafizh
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, “Orang yang sombong adalah orang
yang memandang dirinya sempurna segala-galanya, dia memandang orang lain
rendah, meremehkannya dan menganggap orang lain itu tidak pantas mengerjakan
suatu urusan, dia juga sombong menerima kebenaran dari orang lain”. (Jami’ul
Ulum Wal Hikam 2/275)
Raghib
Al-Asfahani rahimahullah berkata, “Sombong adalah keadaan/kondisi seseorang
yang merasa bangga dengan dirinya sendiri, memandang dirinya lebih utama dari
orang lain, kesombongan yang paling parah adalah sombong kepada Rabbnya dengan
cara menolak kebenaran (dari-Nya) dan angkuh untuk tunduk kepada-Nya baik
berupa ketaatan maupun dalam mentauhidkan-Nya.” (Umdatul Qari` 22/140).
Nash-nash
Ilahiyyah banyak sekali mencela orang yang sombong dan angkuh, baik yang
terdapat dalam Al-Qur`an maupun dalam As-Sunnah.
1.
Orang Yang Sombong
Telah Mengabaikan Perintah Allah subhanahu wata’ala.
وَلَا
تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ
لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Allah
subhanahu wata’ala berfirman, artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu
dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri (angkuh).” (QS. 31:18)
Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhu, menjelaskan makna firman Allah subhanahu wata’ala:
(Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia) dia berkata: “Janganlah
kamu sombong dan merendahkan manusia, hingga kamu memalingkan wajahmu ketika
mereka berbicara kepadamu.” (Tafsir At-Thobari 21/74)
Ibnu
Katsir rahimahullah mengatakan Firman Allah subhanahu wata’ala, ”Dan janganlah
kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh”, maksudnya janganlah kamu menjadi
orang yang sombong, keras kepala, berbuat semena-mena, janganlah kamu lakukan
semua itu yang menyebabkan Allah murka kepadamu”. (Tafsir Ibnu Katsir 3/417).
2.
Orang Yang Sombong
Menjadi Penghuni Neraka.
قِيلَ ادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ
خَالِدِينَ فِيهَا فَبِئْسَ مَثْوَى
الْمُتَكَبِّرِينَ
Allah
subhanahu wata’ala berfirman, artinya: “Katakanlah kepada mereka: Masuklah
kalian ke pintu-pintu neraka jahannam dan kekal di dalamnya, maka itulah
sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. Az-Zumar: 72)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak akan masuk surga siapa saja yang
di dalam hatinya terdapat sedikit kesombongan.” (HR. Muslim)
Dalam
hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maukah Aku
beritakan kepada kalian tentang penghuni surga? Para shahabat menjawab: tentu
(wahai Rasulullah), lalu beliau berkata: “(Penghuni surga adalah) orang-orang
yang lemah lagi direndahkan oleh orang lain, kalau dia bersumpah (berdo’a)
kepada Allah niscaya Allah kabulkan do’anya, Maukah Aku beritakan kepada kalian
tentang penghuni neraka? Para shahabat menjawab: tentu (wahai Rasulullah), lalu
beliau berkata: “(Penghuni neraka adalah) orang-orang yang keras kepala,
berbuat semena-mena (kasar), lagi sombong”. (HR. Bukhori & Muslim)
3.
Orang Yang Sombong
Pintu Hatinya Terkunci & Tertutup.
كَذَٰلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ
جَبَّارٍ
Sebagaimana
Firman Allah subhanahu wata’ala, artinya: “Demikianah Allah mengunci mati pintu
hati orang yang sombong dan sewenang-wenang” (QS. Ghafir 35)
Imam
Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Sebagaimana Allah mengunci mati hati orang
yang memperdebatkan ayat-ayat Allah maka demikian juga halnya Allah juga
mengunci mati hati orang yang sombong lagi berbuat semena-mena, yang demikian
itu karena hati merupakan sumber pangkal kesombongan, sedangkan anggota tubuh
hanya tunduk dan patuh mengikuti hati”. (Fathul Qodir 4/492).
4.
Kesombongan Membawa
Kepada Kehinaan Di Dunia & Di Akhirat
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ
الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ
آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ
سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ۚ ذَٰلِكَ
بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ
Orang
yang sombong akan mendapatkan kehinaan di dunia ini berupa kejahilan, sebagai
balasan dari perbuatannya, perhatikanlah firman Allah subhanahu wata’ala,
artinya: “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di dunia
ini tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaanku”. (QS. Al-’Araf: 146)
(Maksudnya)
yaitu Aku (Allah) halangi mereka memahami hujah-hujjah dan dalil-dalil yang
menunjukkan tentang keagungan-Ku, syari’at-Ku, hukum-hukum-Ku pada hati
orang-orang yang sombong untuk ta’at kepada kepada-Ku dan sombong kepada
manusia tanpa alasan yang benar, sebagaimana mereka sombong tanpa alasan yang
benar, maka Allah hinakan mereka dengan kebodohan (kejahilan). (Tafsir Ibnu
Katsir 2/228)
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ
اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
Kebodohan
adalah sumber segala malapetaka, sehingga Allah sangat mencela orang-orang yang
jahil dan orang-orang yang betah dengan kejahilannya, Allah subhanahu wata’ala
berfirman, artinya: “Sesungguhnya makhluk yang paling jelek (paling hina) di
sisi Allah ialah orang-orang yang tuli dan bisu yang tidak mengerti apapun
(jahil).” (QS. Al-Anfal:22)
Maksudnya
Allah subhanahu wata’ala menghinakan orang-orang yang tidak mau mendengarkan
kebenaran dan tidak mau menutur-kan yang haq, sehingga orang tersebut tidak
memahami ayat-ayat-Nya yang pada akhirnya menyebabkan dia menjadi seorang yang
jahil dan tidak mengerti apa-apa, dan kejahilan itulah bentuk kehinaan bagi
orang-orang yang sombong.
Dan
orang yang sombong di akhirat dihinakan oleh Allah subhanahu wata’ala dengan
memperkecil postur tubuh mereka sekecil semut dan hinaan datang kepada dari
segala penjuru tempat, hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits berikut: “Orang-orang yang sombong
akan dihimpunkan pada hari kiamat seperti dalam bentuk semut-semut kecil dengan
rupa manusia, dari segala tempat datang hinaan kepada mereka, mereka digiring
ke penjara neraka jahannam yang di sebut Bulas, di bagian atasnya api yang
menyala-nyala dan mereka diberi minuman dari kotoran penghuni neraka”. (HR.
Tirmizi & Ahmad, dihasankan oleh Syekh Al-Albani dalam Al-Misykat)
Semoga dengan merenungi nash-nash Ilahiyyah diatas,
karunia Allah subhanahu wata’ala beserta kita dan bisa menjauhkan kita dari
sifat angkuh dan sombong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar