SURAT KARTINI……….
“kami di
sini memohon diusahakan pengajaran dan
pendidikan anak-anak perempuan. Bukan sekali-kali karena kami menginginkan
anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya.
Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum
wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibanya, kewajiban yang
diserahkan alam [sunatulah] sendiri kedalam tanganya : menjadi ibu, pendidik
manusia yang pertama-tama.” [surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4
Oktober 1902].
Itu adalah
sebuah cita-cita yang lurus, yang dituntut Kartini bukanlah menjadikan wanita
sama seperti laki-laki dalam tugas dan fungsinya. Juga tidak menuntut sebuah
gerakan untuk meniru wanita Barat dalam seluruh aspek hidupnya. Munculnya
gerakan emansipasi di Barat karena terjadinya perlakuan yang merendahkan
martabat wanita dan menjadikan wanita sebagai warga kelas dua. Sedangkan Islam
telah menempatkan kaum wanita pada tempatnya yang mulia dengan kedudukan, hak
dan dan kewajiban yang sederajat dengan kaum laki-laki. Lalu kenapa harus
muncul gerakan emansipasi pada diri muslimah?
Duhai
Muslimah, dengarlah nasihat dari musuhmu, seorang orientalis, Franzoa
Saban:”Wahai wanita timur, ketahuilah bahwa orang yang memanggil namamu da
mengajakmu beremansipasi dengan lelaki sebenarnya adalah orang-orang yang
mentertawaka dan mengejekmu, dan sesengguhnya mereka telah mentertawakan ummat
Islam sebelum kamu.”
Ibu
Kartinipun memahami masalah ini :”Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan
murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa yang
kebarat-baratan.”[surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 10 Juli 1902].
“Sudah lewat masanya, tadi kami mengira bahwa
masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya.
Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu
sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah itu dalam
masyarakat ibu dapat terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tak patut disebut
sebagai peradaban?” surat Kartini kepada
Ny. E.E Abendanon, 27 Oktober 1902].
Harus dapat
dibedakan antara ajaran Islam dengan adat istiadat yang mengakar dalam suatu
masyarakat. Belum tentu adat istiadat itu akan sesuai ajaran Islam. Setiap
muslim harus mengetahui hal ini dan mengilmuinya.
Dengan
demikian Muslimin dan Muslimah tidaklah tertipu dengan slogan-slogan yang
digembar-gemborkan oleh Barat untuk mengelabui ummat Islam.
Duhai
muslimah, betapa sedihnya ibu Kartini akibat rentangan waktu yang tidak terjembatani
antara dirinya dengan generasi-generasi penerusnyua, sehingga rambu-rambu
cita-citanyapun akhirnya hanya menjadi yang mengekor Barat. Tapi bagi mereka
yang masih memiliki hati dan perasaan, kenapa tidak segera kembali ke jalan
yang benar.”Astagfirullah”, alangkah jauhnya saya menyimpang.[surat Kartini
kepada Ny. Abendanon, 5 Maret 1902].
Wahai muslimah, mari kita lanjutkan cita-cita
Ibu Kartini:”moga-moga kami mendapatkan rahmat, dapat berkerja membuat ummat
agama lain memandang Agama Islam patut disukai.” [surat Kartini kepada Ny. Van
Kol, 21 Juli 1902]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar