Ranking

Sabtu, 28 Januari 2023

 

 

Meningkatkan Kualitas Iman dan Taqwa dengan 5M



يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa (orang) memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al Hasyr : 18)

Adalah menjadi kewajiban setiap orang merancang dan mempersiapkan hari esok yang lebih baik. Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa seorang akan merugi kalau hari esoknya sama saja dengan hari ini, bahkan dia menjadi terkutuk jika hari ini lebih buruk dari kemarin. Seseorang baru dikatan bahagia, jika hari esok itu lebih baik dari hari ini.

Membangun hari esok yang baik, sesuai dengan ayat (wahyu Allah SWT) di atas dimulai dengan perintah bertaqwa kepada Allah dan di akhiri dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berfikir, serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah dengan taqwa.

Semestinya orang Mukmin punya langkah antisipatif terhadap kemungkinan yang dapat terjadi esok disebabkan kelalaian hari ini. Seorang mukmin sudah dapat memprediksi dan mempersiapkan hari esok yang lebih baik, dinamis, lebih mapan, lebih produktif dari pada hari ini.

Simpulannya, mesti ada peningkatan prestasi dari hari ke hari. Hari esok dapat berarti masa depan dalam kehidupan pendek di dunia ini.

Hari esok juga berarti pula hari esok yang hakiki, yang kekal abadi di akhirat kelak.

Hari esok mesti dirancang harus lebih baik dari hari ini, dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dengan melaksanakan lima “M” ; yaitu Mu’ahadah, Mujahadah, Muraqabah, Muhasabah, dan Mu’aqabah.

 

1. Mu’ahadah

Mu’ahadah adalah mengingat perjanjian dengan Allah SWT. Sebelum manusia lahir ke dunia, masih berada pada alam gaib, yaitu di alam arwah, Allah telah membuat “kontrak” tauhid dengan ruh.

Kontrak tauhid ini terjadi ketika manusia masih dalam keadaan ruh belum berupa materi (badan jasmani). Karena itu, logis sekali jika manusia tidak pernah merasa membuat kontrak tauhid tersebut.

Mu’ahadah konkritnya diikrarkan oleh manusia mukmin kepada Allah setelah kelahirannya ke dunia, berupa ikrar janji kepada Allah. Wujudnya terefleksi minimal 17 kali dalam sehari dan semalam, bagi yang menunaikan shalat wajib, sebagaimana tertera di dalam surat Al Fatihah ayat 5 yang berbunyi: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Artinya, engkau semata wahai Allah yang kami sembah, dan engkau semata pula tempat kami menyandarkan permohonan dan permintaan pertolongan.

Ikrar janji ini mengandung ketinggian dan kemantapan aqidah. Mengakui tidak ada lain yang berhak disembah dan dimintai pertolongan, kecuali hanya Allah semata.

Tidak ada satupun bentuk ibadah dan isti’anah (Permintaan Pertolongan) yang boleh dialamatkan kepada selain Allah SWT.

Mu’ahadah yang lain adalah ikrar manusia ketika mengucapkan kalimat “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya kuperuntukkan (ku-abdikan) bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam.”

Semoga Allah merahmati Anas bin Nadhir. Ia adalah seorang syahid Perang Uhud yang telah memenuhi janjinya kepada Tuhannya. Dia sangat menyesal tidak hadir di Perang Badar, karenanya dia merasa kehilangan banyak kebaikan dan pahala yang besar. Anas tidak turut serta dalam Perang Badar bukan karena takut atau dia seorang yang munafik. Dia mengira tidak akan terjadi perang, dia menyangka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat hanya untuk mencegat kafilah dagang orang-orang Quraisy, dan Rasulullah tidak mewajibkan para sahabatnya untuk berangkat.

Anas telah berjanji kepada Allah, “Jika Allah memberiku kesempatan hadir di medan perang melawan musuh-musuh-Nya, niscaya Dia pasti melihat apa yang aku lakukan.”

Di Perang Uhud, kaum musyrikin lari tunggang langgang di awal peperangan di saat kaum muslimin bersikap benar. Allah mewujudkan janji-Nya kepada mereka, akan tetapi manakala kaum muslimin menyelisihi perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bercerai-berai sementara peperangan kembali memanas. Anas melihat keadaan dan situasi telah berubah. Dia melihat teman-temannya seraya berkata, “Wahai Saad, aku mencium bau surge di balik Gunung Uhud,” Anas melihat kaum muslimin yang terpukul mundur, maka ia berkata, “Ya Allah, maafkanlah aku dari apa yang mereka lakukan.” Dia pun maju menyerang musuh seperti seekor rajawali menyerang mangsanya. Kekuatan iman mendorongnya, ada kehidupan mulia yang diidam-idamkannya setelah dia meninggalkan kehidupan ini. Dia ingin memenuhi janjinya, dan dia menunjukkannya kepada Allah Ta’ala.

Perang pun usai, kaum muslimin mendapati tubuhnya menjadi ladang bagi pedang, tombak, dan anak panah, sampai-sampai para sahabat tidak mengenalinya lagi. Wajahnya berubah, hanya saudara perempuannya yang mengenalinya dari tanda yang terdapat di jari tangannya. Saad menceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kepahlawanan Anas, “Ya Rasulullah, demi Allah, aku tidak kuasa melakukan apa yang telah dilakukan oleh Anas.”

Sikap Anas ini mengingatkanku pada sikap seorang badui yang beriman dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika sang badui diberi harta rampasan perang sebagai haknya, dia malah bertanya kepada Rasulullah, “Apa ini?” Rasulullah menjawab, “Harta rampasan perang yang menjadi hakmu.” Badui itu menjawab, “Aku tidak mengikutimu demi ini. Aku mengikutimu agar aku bisa berperang di jalan Allah, lalu anak panah menembus ini (dia menunjuk kepada lehernya). Maka aku mati dan masuk surga.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika ucapan itu jujur, Allah akan mewujudkan keinginanmu.”

Pada perang berikutnya, badui tersebut dibawa kepada Rasulullah dalam keadaan anak panah tertancap di lehernya. Rasulullah bertanya, “Diakah itu?” Para sahabat menjawab, “Ya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia membenarkan Allah, maka Allah membenarkannya.”

Begitu pula pemuda yang meninggalkan shalat di belakang Mu’adz radhiallahu ‘anhu, dengan alasan bacaan Mu’adz terlalu panjang. Mu’adz menuduhnya munafik. Maka pemuda itu mengadu kepada Rasulullah. Rasulullah berkata kepada Mu’adz, “Apakah kamu seorang pembuat fitnah wahai Mu’adz?” Lalu beliau berkata kepada pemuda itu, “Apa yang kamu lakukan jika kamu shalat wahai anak muda?” Dia menjawab, “Aku membaca Al-Fatihah. Aku memohon surga dan perlindungan dari neraka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku dan Mu’adz sama-sama membaca apa yang kamu baca.” Kemudian pemuda itu mengatakan, “Mu’adz akan tahu siapa aku kalau musuh datang.” Pada saat itu kaum muslimin mendapatkan informasi bahwa ada musuh yang hendak datang menyerang. Beberapa saat, benar saja musuh datang menyerang. Kaum muslimin pun tak gentar menghadapi mereka. Pemuda itu ikut serta bertempur dan dia gugur sebagai syahid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Mu’adz, “Apa yang terjadi pada pemuda itu?” Mu’adz menjawab, “Ya Rasulullah, dia telah membenarkan Allah dan aku berbohong. Dia gugur syahid.”

Generasi pertama adalah generasi yang benar dalam akidah dan perbuatan mereka. mereka bertolak dari akudah yang kuat dan niat yang teguh. Jika kita meneliti orang-orang seperti ini, orang-orang yang tidak hanya berbicara, niscaya kita akan mendapati ratusan bahkan ribuan teladan yang mengagumkan. Mereka adalah realisasi dari firman Allah,

مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَاعَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنهُم مَّن قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ وَمَابَدَّلُوا تَبْدِيلاً

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).

Kita memerlukan orang-orang mukmin seperti mereka. orang-orang yang ucapannya sesuai dengan akidahnya. Perbuatannya membenarkan ucapan dan akidahnya. Mereka sadar bahwa mereka menisbatkan diri mereka kepada Islam dengan hati, perasaan, tingkah laku, harapan, dan penderitaan. Mereka menegakkan hubungan mereka dengan orang lain, baik dalam bentuk kecintaan ataupun kebencian, di atas petunjuk kitabullah, Alquran.

Kita memerlukan orang-orang mukmin seperti mereka. Apakah kita termasuk sebagian dari mereka? Semoga. Jika tidak, maka berusahalah dan semoga Allah memberi pertolongan.

 

2. Mujahadah

Mujahadah berarti bersungguh hati melaksanakan ibadah dan teguh berkarya amal shaleh, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT yang sekaligus menjadi amanat serta tujuan diciptakannya manusia.

Dengan beribadah, manusia menjadikan dirinya ‘abdun (hamba) yang dituntut berbakti dan mengabdi kepada Ma’bud (Allah Maha Menjadikan) sebagai konsekuensi manusia sebagai hamba wajib berbakti (beribadah).

Mujahadah adalah sarana menunjukkan ketaatan seorang hamba kepada Allah, sebagai wujud keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya. Di antara perintah Allah SWT kepada manusia adalah untuk selalu berdedikasi dan berkarya secara optimal.

Hal ini dijelaskan di dalam Al Qur’an Surat At Taubah ayat: 5,

“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa-apa yang telah kamu kerjakan.”

Orang-orang yang selalu bermujahadah merealisasikan keimanannya dengan beribadah dan beramal shaleh dijanjikan akan mendapatkan petunjuk jalan kebenaran untuk menuju (ridha) Allah SWT hidayah dan rusyda yang dijanjikan Allah diberikan kepada yang terus bermujahadah dengan istiqamah.

Kecerdasan dan kearifan akan memandu dengan selalu ingat kepada Allah SWT, tidak terpukau oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syetan yang terus menggoda.

Situasi batin dari orang-orang yang terus musyahadah (menyaksikan) keagungan Ilahi amat tenang. Sehingga tak ada kewajiban yang diperintah dilalaikan dan tidak ada larangan Allah yang dilanggar.

Jiwa yang memiliki rusyda terus hadir dengan khusyu’. Inilah sebenarnya yang disebut mujahidin ‘ala nafsini wa jawarihihi, yaitu orang yang selalu bersungguh dengan nuraninya dan gerakannya.

Syeikh Abu Ali Ad Daqqaq mengatakan: “Barangsiapa menghias lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah.”

Imam Al Qusyairi an Naisaburi [3] mengomentari tentang mujahadah sebagai berikut:

« Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencari kebaikan; Pertama larut dalam mengikuti hawa nafsu, Kedua ingkar terhadap ketaatan.

Manakala jiwa ditunggangi nafsu, wajib dikendalikan dengan kendali taqwa. Manakala jiwa bersikeras ingkar kepada kehendak Tuhan, wajib dilunakkan dengan menolak keinginan hawa nafsunya.

Manakala jiwa bangkit memberontak, wajib ditaklukkan dengan musyahadah dan istigfar.

Sesungguhnya bertahan dalam lapar (puasa) dan bangun malam di perempat malam (tahajjud), adalah sesuatu yang mudah.

Sedangkan membina akhlak dan membersihkan jiwa dari sesuatu yang mengotorinya sangatlah sulit. »

Mujahadah adalah suatu keniscayaan yang mesti diperbuat oleh siapa saja yang ingin kebersihan jiwa serta kematangan iman dan taqwa.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيد ِ * إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ * مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

 

“Dan sesunggunya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan adal di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Q.S. Qaaf: 16-18).

 

Kisah ini saya dapat daripada seorang sahabat semoga kita dat bersama-sama mengambil iktibar dari kisah seoran pemuda Palestin ini..Hayatilah kisah ini..
Di dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah rhodiyallaahu `anhu, 
Rasululllah shollallaahu `alaihi wasallam pernah bersabda,
yg bermaksud:
" Ada tujuh golongan orang yang mendapat naungan Allah pada hari tiada naungan selain dari naunganNya… diantaranya, seorang pemuda yang tumbuh dalam melakukan ketaatan kepada Allah."

Dan di dalam sebuah hadits shohih yang berasal dari Anas bin an-Nadhr rhodiyallaahu `anhu, ketika perang Uhud ia berkata,
"Wah …. angin surga, sunguh aku telah mencium wangi surga yang berasal dari balik gunung Uhud."
Seorang Doktor bercerita kepadaku, 
" Pihak rumah sakit menghubungiku dan memberitahukan bahwa ada seorang pesakit dalam keadaaan kritikal sedang dirawat.
Ketika aku sampai, ternyata pesakit tersebut adalah seorang pemuda yang sudah meninggal – semoga Allah merahmatinya -. 
Lantas bagaimana detail kisah matinya. Setiap hari puluhan bahkan ribuan orang meninggal. Namun bagaimana keadaan mereka ketika meninggal dunia? Dan bagaimana pula dengan akhir hidupnya?
Pemuda ini terkena peluru sasar, dengan segera kedua orang tuanya –semoga Allah membalas segala kebaikan mereka- melarikannya ke rumah sakit militer di Riyadh.
Di tengah perjalanan, pemuda itu menoleh kepada ibu bapaknya dan sempat berbicara. Tetapi apa yang ia katakan? Apakah ia menjerit dan mengerang sakit? Atau menyuruh agar segera sampai ke rumah sakit? Ataukah ia marah dan mengeluh ? Atau apa?
Orang tuanya mengisahkan bahwa anaknya tersebut mengatakan kepada mereka,
`Jangan khawatir! Saya akan meninggal … tenanglah … sesungguhnya aku mencium wangi surga.!'
Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan ia mengulang-ulang kalimat tersebut di hadapan para dokteor yang sedang merawat.
Meskipun mereka berusaha berulang-ulang untuk menyelamatkannya, ia berkata kepada mereka, `Wahai saudara-saudara, aku akan mati, maka janganlah kalian menyusahkan diri sendiri… karena sekarang aku mencium wangi surga.'
Kemudian ia meminta kedua orang tuanya agar mendekat lalu mencium keduanya dan meminta maaf atas segala kesalahannya.
Kemudian ia mengucapkan salam kepada saudara-saudaranya dan mengucapkan dua kalimat syahadat, `Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah' Ruhnya melayang kepada Sang Pencipta subhanahu wa ta'ala.
Allahu Akbar … apa yang harus aku katakan dan apa yang harus aku bicarakan…Semua kalimat tidak mampu terucap … dan pena telah kering di tangan… Aku tidak kuasa kecuali hanya mengulang dan mengingat 
Firman Allah subhanahu wa ta'ala,yg bermaksud: " Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan akhirat." (Ibrahim : 27)

Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi.
Ia melanjutkan kisahnya,

"Mereka membawa jenazah pemuda tersebut untuk dimandikan. Maka ia dimandikan oleh saudara Dhiya' di tempat pemandian mayat yang ada di rumah sakit tersebut. Petugas itu melihat beberapa keanehan yang terakhir. Sebagaimana yang telah ia ceritakan sesudah shalat Magrib pada hari yang sama.
1. Ia melihat dahinya berkeringat. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullaah Shallallaahu `alahi wasallam bersabda,
yg bermaksud:
"Sesungguhnya seorang mukmin meninggal dengan dahi berkeringat" . Ini merupakan tanda-tanda khusnul khatimah.
2. Ia katakan tangan jenazahnya lunak demikian juga pada persendiannya seakan-akan dia belum mati. Masih mempunyai panas badan yang belum pernah ia jumpai sebelumnya semenjak ia bertugas memandikan mayat. Pada tubuh orang yang sudah meninggal itu (biasanya-red) dingin, kering dan kaku.
3. Telapak tangan kanannya seperti seorang yang membaca tasyahud yang menegakkan jari telunjuknya mengisyaratkan ketauhidan dan persaksiannya, sementara jari-jari yang lain ia genggam.

Subhanalllah … Sungguh indah kematian seperti itu. Kita memohon semoga Allah subhanahu wa ta'ala menganugrahkan kita khusnul khatimah.

Saudara-saudara tercinta … kisah belum selesai…

Saudara Dhiya' bertanya kepada salah seorang sedaranya, apa yang ia lakukan semasa hidupnya? Tahukah anda apa jawabnya?

Apakah anda kira ia menghabiskan malamnya dengan berjalan-jalan di jalan raya?

Atau duduk di depan tv untuk menyaksikan hal-hal yang terlarang? Atau ia tidur nyenyak hingga terluput mengerjakan shalat? Atau sedang meneguk khamr, dan isap rokok?

Menurut anda apa yang telah ia kerjakan? Mengapa ia dapatkan husnul khatimah ?

meninggal dengan mencium wangi surga.

Ayahnya berkata, 

"Ia selalu bangun dan melaksanakan shalat malam sesanggupnya. Ia juga membangunkan keluarga dan seisi rumah agar dapat melaksanakan shalat Shubuh berjama'ah. Ia gemar menghafal al-Qur'an dan termasuk salah seorang siswa yang berprestasi di SMU."

Aku katakan, "Maha benar Allah" yang berfirman : yg bermaksud:

"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: `Rabb kami ialah Allah' kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): 

`Janganlah kamu takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.' Kamilah pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Fhushilat:30- 32)

 

 

3. Muraqabah

Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.

Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.

Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, « “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari.” »

Syeikh Abu Utsman Al Maghriby mengatakan, « “Abu Hafs mengatakan kepadaku, ‘manakala engkau duduk mengajar orang banyak jadilah seorang penasehat kepada hati dan jiwamu sendiri dan jangan biarkan dirimu tertipu oleh ramainya orang berkumpul di sekelilingmu, sebab mungkin mereka hanya melihat wujud lahiriahmu, sedangkan Allah SWT memperhatikan wujud batinmu.” »

Dalam setiap keadaan seorang hamba tidak akan pernah terlepas dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, serta nikmat yang harus disyukuri. Muraqabah adalah tidak berlepas diri dari kewajiban yang difardhukan Allah SWT yang mesti dilaksanakan, dan larangan yang wajib dihindari.

Muraqabah dapat membentuk mental dan kepribadian seseorang sehingga ia menjadi manusia yang jujur.

« Berlaku jujurlah engkau dalam perkara sekecil apapun dan di manapun engkau berada.

Kejujuran dan keikhlasan adalah dua hal yang harus engkau realisasikan dalam hidupmu. Ia akan bermanfaat bagi dirimu sendiri.

Ikatlah ucapanmu, baik yang lahir maupun yang batin, karena malaikat senantiasa mengontrolmu. Allah SWT Maha Mengetahui segala hal di dalam batin.

Seharusnya engkau malu kepada Allah SWT dalam setiap kesempatan dan seyogyanya hukum Allah SWT menjadi pegangan dlam keseharianmu.

Jangan engkau turuti hawa nafsu dan bisikan syetan, jangan sekali-kali engkau berbuat riya’ dan nifaq. Tindakan itu adalah batil. Kalau engkau berbuat demikian maka engkau akan disiksa.

Engkau berdusta, padalah Allah SWT mengetahui apa yang engkau rahasiakan. Bagi Allah tidak ada perbedaan antara yang tersembunyi dan yang terang-terangan, semuanya sama.

Bertaubatlah engkau kepada-Nya dan dekatkanlah diri kepada-Nya (Bertaqarrub) dengan melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya.” » [4]

 وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إلاَّ مَا سَعَى وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ اْلأَوْفَى وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى وَأَنَّهُ هُوَ أَمَاتَ وَأَحْيَا

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu), dan bahwasanya DIA yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya DIA yang mematikan dan yang menghidupkan.” (QS. An-Najm: 39-44)

Kisah yang disebutkan dalam sirah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Azis (Juz 1, hlm 23). Yaitu kisah Amirul-Mukminin ‘Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu dengan seorang wanita. Tatkala Khalifah ‘Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu memegang tampuk pemerintahan, beliau melarang mencampur susu dengan air.

Awal kisah, pada suatu malam Khalifah ‘Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu pergi ke daerah pinggiran kota Madinah. Untuk istirahat sejenak, bersandarlah beliau di tembok salah satu rumah. Terdengarlah oleh beliau suara seorang perempuan yang memerintahkan anak perempuannya untuk mencampur susu dengan air. Tetapi anak perempuan yang diperintahkan tersebut menolak dan berkata: “Bagaimana aku hendak mencampurkannya, sedangkan Khalifah ‘Umar melarangnya?”

Mendengar jawaban anak perempuannya, maka sang ibu menimpalinya: “Umar tidak akan mengetahui.”

Mendengar ucapan tersebut, maka anaknya menjawab lagi: “Kalaupun ‘Umar tidak mengetahui, tetapi Rabb-nya pasti mengetahui. Aku tidak akan pernah mau melakukannya. Dia telah melarangnya.”

Kata-kata anak wanita tersebut telah menghunjam ke dalam hati ‘Umar. Sehingga pada pagi harinya, anaknya yang bernama ‘Ashim, beliau panggil untuk pergi ke rumah wanita tersebut. Diceritakanlah ciri-ciri anak tersebut dan tempat tinggalnya, dan beliau berkata: “Pergilah, wahai anakku dan nikahilah anak tersebut,” maka menikahlah ‘Ashim dengan wanita tersebut, dan lahirlah seorang anak perempuan, yang darinya kelak akan lahir Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah tersebut ialah sebagai berikut:

– Kesungguhan salaf dalam mendidik anak-anak mereka.

– Selalu menanamkan sifat muraqabah, yaitu selalu merasa diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla, baik ketika sendiri atau ketika bersama orang lain.

– Tidak meresa segan untuk memberikan nasihat kepada orang tua.

– Memilihkan suami yang shalih atau istri yang shalihah bagi anak-anaknya.

 4. Muhasabah

Muhasabah berarti introspeksi diri, menghitung diri dengan amal yang telah dilakukan. Manusia yang beruntung adalah manusia yang tahu diri, dan selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan kelak yang abadi di yaumul akhir.

Dengan melakasanakan Muhasabah, seorang hamba akan selalu menggunakan waktu dan jatah hidupnya dengan sebaik-baiknya, dengan penuh perhitungan baik amal ibadah mahdhah maupun amal sholeh berkaitan kehidupan bermasyarakat. Allah SWT memerintahkan hamba untuk selalu mengintrospeksi dirinya dengan meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah SWT.

Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. melaksanakan shalat shubuh. Selesai salam, ia menoleh ke sebelah kanannya dengan sedih hati. Dia merenung di tempat duduknya hingga terbit matahari, dan berkata;  “Demi Allah, aku telah melihat para sahabat (Nabi) Muhammad SAW. Dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka melewatkan malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah, mereka membaca kitab Allah dengan bergantian (mengganti-ganti tempat) pijakan kaki dan jidat mereka apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar diterpa angin, mata mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka dan orang-orang sekarang seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan mereka).” »

Muhasabah dapat dilaksanakan dengan cara meningkatkan ubudiyah serta mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Berbicara tentang waktu, seorang ulama yang bernama Malik bin Nabi berkata ; « “Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali ia berseru, “Wahai anak cucu Adam, aku ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.” » [5]

 Waktu terus berlalu, ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Allah SWT bersumpah dengan berbagai kata yang menunjuk pada waktu seperti Wa Al Lail (demi malam), Wa An Nahr (demi siang), dan lain-lain.

Waktu adalah modal utama manusia. Apabila tidak dipergunakan dengan baik, waktu akan terus berlalu. Banyak sekali hadits Nabi SAW yang memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin.

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا َكثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَ الفَرَاغُ

“Dua nikmat yang sering disia-siakan banyak orang: Kesehatan dan kesempatan (waktu luang).” (H.R. Bukhari melalui Ibnu Abbas r.a).

 

Kisah Nabi Musa AS Dan Seorang Ahli Ibadah...

Suatu ketika Nabi Musa Di tengah perjalanan bertemu dengan seorang ahli ibadah yang sedang ber-uzlah menjauhkan diri dari keramaian. Ketika melihat Nabi Musa mendekatinya, sang abid mendekat dengan penuh semangat. Wahai Nabi Allah, pasti engkau suka berkomunikasi dengan Allah. Tolong tanyakan kepada Allah, di surga tingkat berapa nanti aku ditempatkan di akhirat? kata sang abid penuh yakin. Wahai hamba Allah, bagaimana engkau bisa memastikan dirimu akan masuk surga? kata Nabi Musa dengan heran. Bagaimana tidak, wahai Nabi Allah. Aku mengasingkan diri dari keramaian sudah selama empat puluh tahun. Aku telah meninggalkan segala-galanya. Selama itu aku tidak pernah melakukan perbuatan dosa. Aku hanya berdzikir dan beribadah kepada Allah. Aku menjaga makanan haram, dengan tidak aku makan kalau tidak dari daun- daun yang langsung jatuh ke pangkuanku. Aku tidak minum kalau bukan air hujan. Tidak pastikah aku masuk surga? Nabi Musa kemudian melanjutkan perjalanannya.

Di Bukit Sina, ia berkomunikasi dengan Allah. Ya Allah, di tengah perjalananku aku bertemu dengan seorang hamba- Mu. Dia ingin tahu di surga tingkat berapakah gerangan tempatnya nanti? Jawab Allah: Wahai Musa, sampaikan kepadanya bahwa tempatnya di neraka. Nabi Musa terkejut. Ia pun kembali menemui sang abid. Melihat Nabi Musa datang, sang abid dengan penuh semangat menemuinya. Ia ingin cepat mengetahui di surga tingkat berapa tempatnya kelak di akhirat. Di surga ke berapa tempatku nanti? Katakan secepatnya, wahai Nabi Allah! kata sang abid seraya mengguncang-guncang bahu Nabi Musa. Sabar wahai sahabatku. Kabar yang kuterima tempatmu nanti di neraka. Bagaimana mungkin wahai Musa. Ibadah empat puluh tahun diganjar dengan neraka? Tidak mungkin. Pasti engkau salah dengar. Tolong engkau kembali lagi kepada Allah, tanyakan di surga ke berapa tempatku kelak.

Nabi Musa kembali. Di tengah perjalanan ia bergumam sendirian, Iya ya, aku akan memastikan. Ya Allah, hambamu ingin kejelasan, apa benar tempatnya kelak di neraka? tanya Nabi Musa kepada Allah sekali lagi. Allah Swt Menjawab, Aku tadinya memang akan menempatkannya di neraka. Aku menciptakan manusia bukan untuk egoisnya, Aku menciptakan manusia sebagai khalifah dan untuk saling membantu sesamanya menuju jalan-Ku. Abid tadi bukan mendekatkan dirinya kepada-Ku. Ia melarikan diri dari realitas kehidupan yang nyata. Hanya memikirkan amal untuk dirinya sendiri.

Pada saat engkau berjalan menuju ke sini, abid itu tersungkur sujud, ia menangis sejadi-jadinya. Ia memohon kepada-Ku kalau benar dirinya kelak akan ditempatkan di neraka maka jadikanlah dirinya agar tubuhnya diperbesar sebesar neraka Jahanam, supaya tidak ada orang lain yang masuk ke dalamnya selain hanya dirinya. Pada saat itu, ia tidak lagi memikirkan dirinya sendiri. Ia kembali kepada tanggung jawabnya. Kesalehan individu identik dengan hubungan seseorang secara pribadi kepada Allah swt. Ia melakukan ibadah yang pahalanya hanya untuk dirinya sendiri, tetapi manfaat ibadah yang dilaksanakannya tidak dirasakan secara langsung dan berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Ibadah sosial yaitu dawah lebih mengutamakan kepentingan orang lain, tetapi berdampak positif juga bagi dirinya sendiri. Walaupun banyak perintah untuk beribadah dalam agama ditujukan kepada individu tetapi harus berdampak dalam kehidupan umat yang nyata.

Kesamaan perintah Ramadhan diawali dengan panggilannya kepada orang-orang beriman, dan ayat berikut mengenai dalil tentang kesholehan sosial juga tidak lepas distatuskan kepada ciri khas orang-orang beriman sebagai mana ayat berikut. Allah SWT Berfirman : Dan orang- orang yang BERIMAN, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi PENOLONG bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana ( At-Taubah : 71 ) Allah SWT Berfirman: Kamu (Umat Islam) Adalah Umat Terbaik, yang diturunkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah kemungkaran (QS Ali Imran 103) Ramadhan menjadi momentum meningkatkan produktivitas dan berkarya, bukan bermalas- malasan.bila dihayati secara mendalam, Ramadhan seperti madrasatun mada al-hayah (madrasah sepanjang hayat) yang berkelanjutan mendidik dan mengedukasi generasi demi generasi setiap tahun. Ramadhan memuat makna-makna iman pada jiwa manusia, mengilhami mereka arti agama yang hanif, dan memantapkan kepribadian Muslim yang hakiki Kesempatan Ramadhan yang di dalamnya dijanjikan rahmat (karunia), maghfirah (ampunan), dan itqun min al-nar(pembebasan dari api neraka), sesungguhnya momentum ideal menemukan solusi banyak hal bagi umat. Puasa yang benar dapat membangunkan hati Mukmin yang tertidur. Pada suatu hari Rasulullah Saw bersabda kepada para sahabatnya: Kamu kini jelas atas petunjuk dari Robbmu, menyuruh kepada yang maruf, mencegah dari yang mungkar dan berjihad di jalan Allah. Kemudian muncul di kalangan kamu dua hal yang memabukkan, yaitu kemewahan hidup yang mengakibatkan lupa diri dan kebodohan. Kamu beralih kesitu dan berjangkit di kalangan kamu cinta dunia. Kalau terjadi yang demikian kamu tidak akan lagi beramar maruf, nahi mungkar dan berjihad di jalan Allah. Di kala itu yang menegakkan Al Quran dan sunnah, baik dengan sembunyi maupun terang- terangan tergolong orang-orang terdahulu dan yang pertama- tama masuk Islam. (HR. Al Hakim dan Tirmidzi) Rasulullah Saw bersabda, Wahai segenap manusia, menyerulah kepada yang maruf dan cegahlah dari yang mungkar sebelum kamu berdoa kepada Allah dan tidak dikabulkan serta sebelum kamu memohon ampunan dan tidak diampuni. Amar maruf tidak mendekatkan ajal. Sesungguhnya para robi Yahudi dan rahib Nasrani ketika mereka meninggalkan amar maruf dan nahi mungkar, dilaknat oleh Allah melalui ucapan nabi-nabi mereka. Mereka juga ditimpa bencana dan malapetaka. (HR. Ath-Thabrani) Semoga bermanfaat...! "Allahumma haqqiqna bittaqwa wal istiqoomah...Ya ALLAH tetapkan kuatkan hidup kami dalam ketaqwaan dan istiqomah...aamiin".

 

5. Mu’aqabah

Muaqabah artinya pemberian sanksi terhadap diri sendiri. Apabila melakukan kesalahan atau sesuatu yang bersifat dosa maka ia segera menghapus dengan amal yang lebih utama meskipun terasa berat, seperti berinfaq dan sebagainya.

Kesalahan maupun dosa adalah kesesatan.

Oleh karena itu agar manusia tidak tersesat hendaklah manusia bertaubat kepada Allah, mengerjakan kebajikan sesuai dengan norma yang ditentukan untuk menuju ridha dan ampunan Allah.

Berkubang dan hanyut dalam kesalahan adalah perbuatan yang melampaui batas dan wajib ditinggalkan.

Di dalam ajaran Islam, orang baik adalah orang yang manakala berbuat salah, bersegera mengakui dirinya salah, kemudian bertaubat, dalam arti kembali ke jalan Allah dan berniat dan berupaya kuat untuk tidak akan pernah mengulanginya untuk kedua kalinya.

Sayyidina Umar bin Khattab suatu hari pergi ke kebun kurma miliknya. Ketika pulang ia mendapati sejumlah orang telah rampung menunaikan sembahyang Ashar.

Sontak mulut Sayyidina Umar berucap, "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, aku ketinggalan shalat jamaah!"

Khalifah kedua ini kecewa bukan main lantaran tak sempat menunaikan shalat jamaah bersama mereka. Sebagai pelunasan atas rasa bersalahnya ini, ia pun melontarkan sebuah pengumuman di hadapan mereka.

"Saksikanlah, mulai sekarang aku sedekahkan kebunku untuk orang-orang miskin," ujar pemimpin berjuluk "al-Faruq" ini. Sayyidina Umar merelakan kebun lepas dari kepemilikannya, sebagai kafarat atas keterlambatannya melaksanakan shalat jamaah.

Kisah ini diriwayatkan 'Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma seperti tertuang dalam kitab Anîsul Mu'minîn karya Shafuk Sa'dullah al-Mukhtar.

Sebenarnya, tak ada kewajiban bagi umat Islam untuk menghibahkan kekayaan sebesar itu 'hanya' gara-gara telat shalat jamaah. Tapi Umar melakukan hal itu lantaran kecintaannya yang mendalam terhadap aktivitas ibadah.

Sikap Sayyidina Umar tersebut secara tersirat juga mencerminkan kezuhudan dalam dirinya. Lebih dari sekadar ketertarikan atas pahala berlipat dari sembahyang jamaah, 'keputusan ekstremnya' itu menjadi penanda bahwa hatinya tak begitu terikat dengan kemewahan harta benda.

Hibah kebun kurma kepada kaum miskin, bagi Sayyidina Umar, adalah setimpal—atau bahkan terlalu kecil—untuk sebuah 'keteledoran' yang membuatnya telat shalat jamaah. Wallâhu a‘lam. 

Shadaqallahul’azhim. Allahu A’lamu Bissawab.

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 ZAITUN ( Zaman Akhir Ini Untuk Ngaji )   Salah satu fenomena yang cukup memprihatinkan pada zaman kita saat ini adalah rendahnya semangat d...