Ranking

Selasa, 31 Juli 2012

Menjaga Anggota Badan


Menjaga Anggota Badan


Ketika shaum kita diwajibkan untuk menjaga anggota badan dari maksiat dan dosa. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak mampu meninggalkan perkataan dosa dan dia melakukannya, maka Allah SWT tidak membutuhkan dia unutk meninggalkan makan dan minum.” (Bukhari)

Imam al-hafidz ibnu Hajar mengatakan bahwa shaum tidak akan diterima jika dibarengi dengan perkataan dan tindakan dosa.

Oleh karena itu saat berpuasa hendaknya kita menjaga tubuh dari kemaksiatan, mengkondisikan diri dan akal untuk tidak berfikir kecuali taat kepada Allah SWT, tidak membawa hati kecuali pada kebaikan kaum muslimin dan muslimat, dan mengkondisikan kedua mata atau kedua telinga atau lisan dengan apa yang dicintai.

Allah SWT berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِين

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah SWT benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69)

Puasa di bulan Ramadhan adalah merupakan ajang untuk takhalli (membersihkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat), tahalli (menghiasi diri dengan perbuatan baik dan terpuji), dan tajalli (mengagungkan Allah SWT dalam berbagai kesempatan dan tempat).
Dan bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan Rahmat, ampunan (maghfirah) dan jaminan seorang hamba terlepas dari siksa neraka, bahkan dilengkapi pula pada sepuluh akhir Ramadhan dengan lailatul Qadar, yaitu malam yang lebih istimewa dari seribu bulan.

Sebagaimana puasa yang bermakna al-imsak (menahan diri) tidak sekadar menahan rasa lapar dan dahaga saja, namun juga harus menahan al-jawarih wal bathin (perilaku raga dan hati) dari hal-hal yang dapat mengurangi, mengotori dan bahkan menghilangkan pahala puasa. Baik dari ucapan, pendengaran, penglihatan, kedipan mata, gerakan tangan, langkah kaki hingga pada perasaan hati. Karena itulah untuk mencapai maqam puasa yang benar-benar sempurna sangatlah sulit, harus memenuhi berbagai langkah dan tingkatan, sehingga wajar kalau puasa merupakan ibadah yang paling berat yang tidak dapat ditunaikan kecuali bagi siapa yang memiliki derajat salik ilal huda (pejalan menuju hidayah). Dan karena itulah tingkatan puasa menurut shahib Ihya Ulumuddin, syeikh imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa puasa terdiri pada tiga tingkatan:

  1. Puasa umum (shaumul ‘umuum)

Yaitu puasa yang dilakukan dengan cara menahan makan, minum dan sanggama dari mulai imsak sampai dengan waktu berbuka (magrib). Ini sudah banyak dijelaskan di beberapa kitab hukum puasa.

Kebanyakan orang awam, mereka melaksanakan puasa hanya sekedar menahan makan, minum dan sanggama di siang hari, tanpa menggali lebih dalam lagi tentang makna puasa itu sendiri. Sehingga banyak orang yang terjebak dalam pelaksanaannya, karena mereka hanya berkutat di sekitar lahiriah saja. Andai pun mereka mampu menahan dan menekan keinginan syahwat nafsu binatangnya, tetap saja masih di sekitar wilayah jasmani, seperti menahan lapar, dahaga, dan sanggama belaka. Padahal perjuangan tersebut belum mencapai tingkatan puasa yang sesungguhnya.

Nabi saw bersabda:

“Banyak orang yang melaksanakan puasa, tetapi tidak ada yang diperoleh dari puasanya, kecuali sekedar lapar dan dahaga belaka.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah)

  1. Puasa khusus atau istimewa (shaumul khushush)

Yaitu puasa bagi para shalihin dan muttaqin. Mereka melaksanakan puasa tidak sekadar menahan lapar, dahaga dan sanggama di siang hari saja, namun disamping itu berusaha meningkatkan puasanya hingga pada kualitas batiniahnya. Mereka dalam puasanya, menahan keinginan syahwat nafsu syaitan, yang merupakan sifat madzmumah(buruk) pada dirinya. Sifat tersebut terwakili pada nafsu sawwalat (syaitan) yang bercokol pada setiap jiwa manusia. Nafsu sawwalat mempunyai beberapa sifat buruk seperti riya, hasad, takabur, ujub, ghibah, namimah, ghadhab, hubbul mal, hubbul jah dan hubbud dunya.

Sifat-sifat tersebut yang harus dikendalikan, agar tidak liar menguasai diri seseorang yang sedang puasa. Jika seseorang telah mampu menguasai dan mengendalikan sifat-sifat yang buruk tersebut, maka secara otomatis semua anggota tubuh yang lahir seperti tangan, kaki, mata, telinga, mulut dan lainnya akan terkendali pula. Dengan kata lain, seluruh anggota tubuhnya ikut berpuasa, karena telah dikendalikan dari dalam diri, yaitu pengendalian pada nafsu lawwamah.

Inilah sesungguhnya puasa bagi orang-orang yang khusus (istimewa) yang telah mencapai derajat shalihin dan muttaqin.

Puasa pada tingkatan ini juga dapat diartikan sebagai tahapan Takhalli (pembersihan diri) dari sifat-sifat yang buruk pada diri seorang hamba. Karena hakikat makna Takhalli ialah penyucian jiwa seorang salik hingga mencapai kebersihan yang hakiki. Maka dengan puasa pada tingkatan khusus ini, seseorang dapat mencapai pengosongan diri dari segala macam sifat yang madzmumah. Kemudian dilanjutkan Tahalli (menghiasi) dengan sifat-sifat yangmahmudah (terpuji). Sifat terpuji pada diri seseorang, dapat ditemui dalam pelaksanaan ibadah yang istiqamah dan kehidupan yang jauh dari maksiat lahir maupun batin. Sebagaimana anggota tubuh yang telah dikendalikan dengan puasa, sehingga semua yang dilakukan oleh anggota tubuh itu selalu terpuji.

  1. Puasa yang lebih khusus atau teristimewa (shaumul khushushul khushush).

Yaitu puasa yang lebih khusus atau teristimewa. Ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang telah bersih hatinya seperti para nabi dan arifin billah. Di samping beliau melaksanakan puasa pada tingkatan pertama dan kedua, beliau lebih jauh lagi pendalaman pelaksanaan puasanya pada tingkatan hati yang jernih.

Puasa pada tingkatan ini, harus menahan diri dari rasa atau keinginan untuk memiliki sesuatu apa atau siapa pun yang ada di dunia ini. Karena keinginan tersebut dapat menghalangi dirinya dari memandang keelokan Wujud Allah SWT. Karena Puasa pada tingkatan khushushul khusush, jika di dalam hatinya ada sesuatu selain Allah SWT yang dapat melupakan dirinya pada wujud-Nya, maka puasanya dihukumkan batal. Karena itu, ada seorang arifin billah yang menyatakan: “Andai kata terlintas di dalam hatiku suatu kehendak akan yang lain selainmu karena jiwaku melupakannya, maka hukumkan diriku sebagai murtad.”

Orang-orang yang puasa pada tingkatan ketiga ini, hatinya selalu ingat pada Allah SWT dengan syuhud (memandang dan menyaksikan) semua yang ada di bumi ini, baik lahir maupun batin dikembalikan kepada Allah SWT. Ini sebagai kelanjutan dari Takhalli dan Tahalli sampai jadi dan merasakan Tajalli (tampak).

Tajalli itu merupakan hasil dari tingkatan para salik yang telah berproses dari pengosongan diri dari sifat-sifat madzmumah dan dilanjutkan menghiasinya dengan sifat-sifat mahmudah, kemudian menjadi kelihatan hakikat yang dituju yaitu Allah SWT. Inilah Tajalli orang-orang yang berpuasa pada tingkatan ketiga, yaitu orang yang telah diistimewakan oleh Allah SWT.

وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُولَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَا. جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاءُ مَنْ تَزَكَّى

“Dan barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia), yaitu) surga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan).” (Taha: 75-76).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 ZAITUN ( Zaman Akhir Ini Untuk Ngaji )   Salah satu fenomena yang cukup memprihatinkan pada zaman kita saat ini adalah rendahnya semangat d...